Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

DI TUBUH DARANI, DALAM PERUT WADUK (Radar Malang, 15 Oktober 2017)

Gambar
       Lelaki itu membuka mata. Mulutnya mendesah, menguarkan bau penyesalan yang semakin memborok di ulu hatinya. Di desa ini sudah sekian lama ia tak menghirup kehidupan. Semenjak aku depresi dan menenggak air yang kutampung sendiri, ia hanya mengumpat terus di dalam hati. Lebih baik mati daripada hidup serba menyakiti seperti ini. Di balik pegunungan, matahari merangkak memendarkan embun-embun di sekitar lahan. Tubuhku memancarkan kristal di bawah silau dan sengatan fajar. Bara membungkus bekalnya dengan baju kumal yang tak terpakai. Ia menarik geteknya yang tertambat, lalu mendayungnya menyusuri permukaanku. “Darani, kenapa kau menjadi seperti ini. Lantaran hujan enggan luruh dan terik yang menyembilu, kau lantas biarkan hidupku tak menentu.” Keluhnya padaku. Di permukaanku, dulu tertambat barang sepuluh sampai lima belas getek. Orang-orang biasanya menangkap uceng, belut, dan siongan dengan jala mereka. Tapi kini hanya tersisa satu getek milik Bara. Dia mencintaiku bukan

SUKASIR DAN UBAN (Minggu Pagi, 25 Agustus 2017)

Gambar
Sejak kecil Sukasir tak pernah membiarkan rambutnya tumbuh. Saat masih tujuh tahun, mendiang ibunya pernah menyuruhnya mencabuti uban. Saat itu, ia bukanlah anak yang pandai mencabuti uban. Akhirnya, rambut ibunya yang masih hitam pun ikut dicabutnya. Tangannya belum pandai memegang sehelai rambut. Tapi ibu Sukasir tak pernah marah. Ia tetap berlemah lembut dan memberi tahu cara yang benar mencabuti uban.

SAJAK PARNISIAN DALAM BINGKAI RAHWANA

Gambar
Judul                  : Kemelut Cinta Rahwana Penulis               : Djoko Saryono Penerbit             : Penerbit Pelangi Sastra, Malang Tebal                 : x + 148 halaman Cet. Pertama     : November 2015 ISBN                 : 9 786027 351608 Nuansa parnasian kembali dihadirkan dalam buku Kemelut Cinta Rahwana (KCR) yang ditulis oleh Djoko Saryono. Dengan racikan diksi dan taraf intelektual yang luas, himpunan puisi ini hadir dengan berbagai eksplorasi kajian bagi pembaca, baik secara personal maupun dalam forum diskusi. Setara dengan novel Rahvayana karya Sujiwo Tedjo, Djoko Saryono juga memilih Rahwana sebagai sudut pandang dalam buku yang ditulisnya. Semuanya disajikan dengan gaya puisi yang khas ala Djoko Saryono. Sebagaimana kita tahu bahwa puisi parnasian ditulis oleh ilmuan yang kebetulan mampu menulis puisi, bukan oleh penyair yang profesinya memang menulis puisi (Waluyo, 1991: 140-141). Djoko Saryono mungkin terg

PUISI AJUN NIMBARA (Malang Post, 5 Maret 2017)

Gambar
GAGANG KASIH YANG PATAH Jalanku tak lagi tegap Tapi aku mencoba tak terlihat Agara tatapanmu tetap mesra Agar tak ragu memegang gagang kasih yang sudah melekat sampai nadi. Kasih, senandungmu kerap berembus saat aku dalam keheningan, dalam sunyi yang melenakan. Kadang kau datang membawa gagang kasih yang tak sengaja kau patahkan ILUSTRASI MALAM Beruntun waktu menghujam Dalam sempit aku mengintai APa saja yang terlihat pada malam Telah sampai padaku sebuah pesan Bertuliskan sebuah keinginan Hendak aku wujudkan Membawa diri melanglang buana Hingga sampai pada satu kisah Akupun sadar, aku hanya butuh sabar Menunggu embun menghampiri fajar

SENJA BERKABUT MERAH DAN LELAKI YANG PERNAH KUCINTAI (Malang Post, 9 April 2017)

Gambar
Benda ini bergerak lagi. Jantungku berdebar hebat. Kadang memang sakit. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan. Ada yang lebih menjadi beban. Sejak beberapa hari lalu, mimpi-mimpi itu semakin gencar menghujam malamku dengan beribu ketakukan. Aku semakin tidak siap akan hal ini. Aku tidak siap memperkenalkannya dengan dunia yang sepertinya saat ini lebih pantas disebut neraka. Hei, apakah kau bisa merasakannya dari dalam sana. Apakah kau tahu apa yang sedang terjadi di sini, di sekitarku dan di belahan bumi lain. Apakah kau juga merasakan ketakutan saat mimpi buruk tentang dosa-dosa dan tanda kehancuran itu datang padaku setiap malam. Apakah kau tahu apa yang aku rasakan. Apakah kau ikut menangis?

SEPASANG SAYAP DALAM AKUARIUM (Radar Malang, 9 April 2017)

Gambar
Malaikat kecil itu sudah di ambang hayatnya. Semesta telah menutup harapan dengan bermacam alibi. Tidak ada tempat untuk menyelamatkan malaikatnya yang baru saja berbancuh dengan darah dari rahimnya yang menanggung beban selama delapan bulan. Ia dihantui keresahan. Kenapa malaikatnya harus luruh di waktu yang sangat dini, saat fajar belum menyingsing dan meruapkan kehangatan. Mengapa Tuhan membebaskannya saat embun masih merayap-rayap di dinding semesta.