SEPASANG SAYAP DALAM AKUARIUM (Radar Malang, 9 April 2017)


Malaikat kecil itu sudah di ambang hayatnya. Semesta telah menutup harapan dengan bermacam alibi. Tidak ada tempat untuk menyelamatkan malaikatnya yang baru saja berbancuh dengan darah dari rahimnya yang menanggung beban selama delapan bulan. Ia dihantui keresahan. Kenapa malaikatnya harus luruh di waktu yang sangat dini, saat fajar belum menyingsing dan meruapkan kehangatan. Mengapa Tuhan membebaskannya saat embun masih merayap-rayap di dinding semesta.

Asih, wanita yang sedang bunting itu, kendati demikian ia tidak diam pasrah. Sudah cukup baginya merasakan kehilangan. Purnomo, suami yang sangat dicintainya tewas tenggelam saat mencari kerang di danau bekas galian pasir. Ia terlempar ke danau saat getek yang dinaikinya bocor dan berbalik. Warga mengangkat jasadnya yang sudah tak berkutik dan menyimpan banyak air di paru-paru. Sejak itu, Asih tak ingin mengalami kehilangan yang kedua kalinya.
            Malaikat itu sangat menggemaskan. Sejuk dipandang dan menentramkan. Ia membawa harapan besar bagi Asih. Tapi dalam keadaan yang sangat mencekam ini, hanya kepedihan yang dirasakannya. Semua memang di luar dugaan. Saat ia terjaga di subuh hari, ditemukannya katup rahimnya sudah mengendor. Berkali-kali ia menjerit sebelum akhirnya seorang bayi mungil bermandikan darah luruh begitu saja.
            Dalam perasaan haru, sedih, dan bingung itu, seketika sepasang sayap datang dan membuka pintu rumahnya.
“Istirahat saja ya.” Bisiknya pelan pada Asih.
Beberapa saat, sepasang sayap itu kembali menampakkan dirinya. Seorang bayi yang baru saja dibawanya kini telah bersih. Matanya terpejam pulas, seperti sedang menghayati semesta.
            “Suhu tubuhnya belum stabil, Bu. Bayi ini harus segera dirawat dengan inkubator.”
            “Saya tahu. Tapi saya tak punya apa-apa untuk membawanya ke rumah sakit. Rumah sakit pasti akan menolak dengan banyak alasan karena saya tak akan mampu membayar” Ucap Asih melas, pasrah.
            “Ibu istirahat saja ya. Saya akan membawa anak ibu ke rumah sait.”
Di sebuah ruangan di rumah sakit, malaikat itu mungkin sedang mendengarkan sepasang sayap yang sedang bernegosiasi dengan seorang dokter. Hatinya bergemuruh. Dilihatnya sepasang sayap itu berjuang membawanya terbang.
            Bayi itu akhirnya mendapat pertolongan. Entah jurus apa yang ia pakai. Malaikat kecil itu digendong oleh seorang suster. Perlahan ia dimasukkan ke dalam kotak inkubator. Tempat yang akan memberinya cahaya kehidupan. Malaikat itu tersenyum dalam tangisnya yang manja. Tangan mungilnya meraih-raih sesuatu di udara. Kakinya menendang-nendang bayangan di depannya.
***
            Pohon-pohon di samping bench sudah meranggaskan daunnya, pertanda musim panas di depan mata. Terik masih terhalang oleh kapas tebal yang menggantung di bentang cakrawala. Dua orang wanita sedang duduk di sudut Taman Kunang-Kunang. Berbagi senyum dan cerita. Seorang satunya membawa buah hatinya yang kini sudah tumbuh dua gigi depannya. Si malaikat, kini dipanggil Aisyah oleh ibunya.
            “Kenapa mbak menolong saya waktu itu?” Tanya Asih pada gadis di depannya.
            Yang ditanyai tersenyum. Taman Kunang-Kunang seketika menjelma sebuah gubuk tua yang dihuni seorang wanita penumpuk kayu dan lelaki pengumpul sampah. Wanita itu sedang terbaring di atas dipannya sembari mengelus perutnya yang membuncit. Dahinya mengkerut seperti menahan sesuatu.
            Tiba-tiba ia menjerit dan memanggil suaminya dengan teriakan. Saat suaminya masuk ke bilik kamar, sudah dilihatnya dua buah betis yang bermandikan darah. Gusar bukan main. Lelaki itu mencari pertolongan. Ia keluar rumah dan mencari siapa saja yang bisa ditemuinya. Ia menghampiri seorang wanita paruh baya yang sedang memepak nginang dihampirinya. Ia jelaskan segala kondisi istrinya di rumah.
            “Tapi saya tidak bisa. Saya takut terjadi apa-apa.”
            “Saya mohon, mak. Setidaknya emak pernah melahirkan dan tahu sedikit cara memijat. Saya mohon, mak.”
           Mereka bergegas ke gubuk tua itu dan membuka bilik kamar tempat wanita hamil itu terbaring. Jeritan itu sudah tak ada lagi. Hanya desahan nafas seperti orang yang baru saja dikejar anjing. Ditambah lagi suara rengekan yang membuat kaget. Tidak salah lagi, itu rengekan seorang bayi.
           Benar ternyata. Wanita itu sambil tersedu menggendong bayi yang baru saja luruh dari rahimnya. Ia memeluknya tanpa acuh akan darah yang bergelimang di tubuh bayinya. Suaminya kaget bukan main. Bagaimana tidak, istrinya melahirkan seorang diri tanpa bantuan siapapun. Di usia rahimnya yang belum genap delapan bulan itu, bayinya keluar menyapa sang ibu dengan tangisan. Sang suami lekas-lekas membawanya ke rumah sakit.
          "Anak ini harus segera dibawa dan dirawat di inkubator. Tapi sebelum itu, Bapak bisa mengurus administrasinya dulu di loket.”
            Lelaki itu memelas. “Dok, kami tidak ada uang untuk biaya perawatan. Kami hanya orang desa miskin.”
            “Bapak bisa berkonsultasi dengan pihak administrasi. Permisi.”
       Dengan segala usaha dan permohonannya, lelaki itu kembali dengan limbung. Ia masih menggendong malaikat kecilnya. “Tidak ada jalan. Rumah sakit sudah menutup pintu untuk orang miskin seperti kita. Kenapa kau harus menerima keadaan ini, nak. Aku telah bersalah.”
            Istrinya tertegun, memandang air mata yang merembes jatuh melintasi pipinya. “Mas, setahu saya inkubator itu untuk menghangatkan bayi supaya suhu badannya stabil. Bagaimana dengan telur yang dierami di bawah lampu pijar, atau seperti hewan yang punya kantong itu. Kanguru, ya, itu?”
            “Jangan bilang kamu memintaku menaruhnya di bawah lampu pijar juga.”
           “Lantas bagaimana lagi. Kita miskin, tidak ada uang untuk merawat anak kita. Kita berusaha saja semampu kita, lebihnya kita tawakal. Hidup dan mati sudah diatur Allah.”
       Akhirnya, sebuah akuarium kosong diambil sebagai keputusan. Diletakkannya bayi itu di dalamnya. Sebuah akuarium yang sudah dilengkapi dengan spons berselimut. Sebuah bohlam bersinar di atasnya. Bohlam itu ditutupi kain tipis cahayanya tidak menyilaukan. Diamatinya kulitbayi itu yang masih merah. Suhu tubuhnya belum stabil karena memang belum waktunya ia bertemu dunia. Saat merengek, wanita itu mengambilnya dan mendekapnya dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Doanya tak pernah putus kepada Tuhan.
            Tuhan membuktikan kemurahan-Nya. Bayi itu bertahan hidup dalam inkubator buatan yang mungkin sangat naif. Tapi itulah yang terjadi. Ia tumbuh dan bergaul dengan teman-teman sepantarannya. Ia menempuh pendidikan dasar, menengah dan atas, bahkan ke Perguruan Tinggi yang termasyhur. Ia tumbuh seiring dengan bakat dan kecerdasannya.
***
            Suasana berubah haru seketika. Asih tak kuasa menahan air matanya yang memaksa untuk keluar. Dia belum percaya bahwa wanita yang sedang bercerita di depannya, dulunya adalah seorang bayi yang berjuang hidup dalam akuarium. Bermodal bohlam, spons berselimut kumal, dan kasih sayang orang tua. Tapi inilah yang kemudian menjadi keajaiban yang membuatnya selalu bersyukur dan berani menantang dunianya.
        “Sekali lagi terima kasih. Saya tidak tahu harus membalas budi seperti apa. Semoga Tuhan membalas dengan kebaikan yang lebih besar.”
           “Semoga anak ibu tumbuh menjadi anak yang berbakti. Saya pamit dulu.”
Sepasang sayap itu berlalu meninggalkan Asih yang sedang menggendong malaikatnya. Ia membetulkan kacamatnya dan berjalan memasuki pintu rumah sakit. Sebuah stetoskop mengalung pada lehernya. Tangannya memeluk sebuah jas putih yang biasa ia kenakan saat jam kerja. Dari jauh, tampak sayap-sayapnya yang bercahaya.

*Ajun Nimbara, nama pena dari Ahmad Junaidi adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Anggota Komunitas Pelangi Sastra Malang dan UKM Penulis UM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

MENYELAMI SASTRA KLASIK JEPANG LEWAT KUMPULAN CERPEN "LUKISAN NERAKA" KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA