DI TUBUH DARANI, DALAM PERUT WADUK (Radar Malang, 15 Oktober 2017)


       Lelaki itu membuka mata. Mulutnya mendesah, menguarkan bau penyesalan yang semakin memborok di ulu hatinya. Di desa ini sudah sekian lama ia tak menghirup kehidupan. Semenjak aku depresi dan menenggak air yang kutampung sendiri, ia hanya mengumpat terus di dalam hati. Lebih baik mati daripada hidup serba menyakiti seperti ini.
Di balik pegunungan, matahari merangkak memendarkan embun-embun di sekitar lahan. Tubuhku memancarkan kristal di bawah silau dan sengatan fajar. Bara membungkus bekalnya dengan baju kumal yang tak terpakai. Ia menarik geteknya yang tertambat, lalu mendayungnya menyusuri permukaanku.
“Darani, kenapa kau menjadi seperti ini. Lantaran hujan enggan luruh dan terik yang menyembilu, kau lantas biarkan hidupku tak menentu.” Keluhnya padaku.
Di permukaanku, dulu tertambat barang sepuluh sampai lima belas getek. Orang-orang biasanya menangkap uceng, belut, dan siongan dengan jala mereka. Tapi kini hanya tersisa satu getek milik Bara. Dia mencintaiku bukan lantaran kepentingannya semata.
Dulu, Bara tak segan meminum airku. Ia tidak takut. Bahkan ia pernah mengumumkan pada orang-orang bahwa airku penuh dengan khasiat. Dibilangnya airku dapat menunda ketuaan, memperlancar peredaraan darah, dan menjadikan orang kaya raya. Saat aku mendengar ucapannya, aku hanya terkekeh sendiri.
Sekarang semua sudah berubah. Jika seseorang menyelamiku hingga ke dasar, tak akan banyak makhluk bersirip yang ditemuinya. Mungkin hanya rintihan kecil di antara keruh dan bau busuk yang tak akan sudi dijamah. Hari ini permukaanku menyusut lagi. Rintihanku semakin menjadi-jadi.
***
Siang itu, Bara kembali mendayung geteknya ke tepi. Ia menarik jaringnya dari dalam tubuhku. Aku tidak tega melihatnya. Dari tadi pagi, hanya ada dia dan rantang bekalnya. Aku biarkan dia menyauk dua puluh uceng agar dapat makan siang enak di rumahnya.
“Ah, akhirnya...” Wajahnya begitu sumringah saat mendapati dua puluh Uceng terjebak di jaringnya. Aku senang melihatnya. Walau jauh di kedalaman, rintihanku tak dapat terelakkan dan air mataku terus berderai.
“Terima kasih, Darani,” tuturnya sembari memasukkan uceng ke dalam ember kecil.
***
Aku kembali menyandiri. Getek milik Bara sedang tertambat di tepi. Rasa takut kembali meringkusku. Jauh di luar perkampungan ini, asap itu menguar dari cerobong-cerobong besar. Getaran-getaran itu sangat kurasakan. Aku kembali menangis. Perutku seketika berdenyut. Perih. Aku menahan sakit. Perutku berkecamuk, riuh, dan saling tindih. Aku ingin berteriak dan memanggil Bara kemari.
Menjelang petang, perutku sedikit memulih. Getaran itu hilang. Aku mendengar langkah kaki sedang berjalan kemari. Seorang lelaki berjalan dan menggamit seorang perempuan. Mereka berkelakar di sepanjang tepi dengan begitu mesra.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku seperti tidak asing dengan benda itu. Oh, tidak. Mereka melakukan dosa besar di tepi tubuhku. Desahan mereka membuatku risih dan tak tahan. Lagi-lagi aku tak dapat melakukan apapun selain diam.
“Hoi! Anjing!”
Suara lantang itu datang mengejutkan. Bara. Ia datang dan memergoki mereka. Mereka cepat-cepat memasang celana dan pergi dari tepianku.
Bara duduk di atas geteknya yang tertambat. Aku memandangi wajahnya. Ada bau yang menguar dari tangannya. Ia memegang semacam makanan, entah apa. Bara membuka bungkus plastiknya perlahan. Aroma itu semakin menguar. Aku semakin curiga.
“Bara, jangan!” Teriakanku tak didengarnya. Bara asyik melahap makanan itu hingga habis. Jantungku berdebam. Ia tak tahu, bahwa makanan itu adalah hasil dari kepulan asap cerobong-cerobong besar yang selalu membuatku merintih kesakitan.
Cerobong-cerobong di pabrik itulah yang setiap hari mencampuri perutku dengan limbah beracun sisa aktivitas industrinya. Mereka rusak populasi ikan di dalam perutku. Oknum-oknum di pabrik itulah yang merampas kehidupan di dasar dan permukaanku demi memproduksi sosis ikan yang akan dipasarkan ke berbagai kota.
“Darani, tadi sepupuku yang dari kota mampir ke rumah. Ia memberiku makanan ini. Sosis ikan. Enak sekali. Dia bekerja di Pabrik Ambang Segara. Pabrik yang membuat sosis ini. Mungkin dia akan sering ke rumah dan memberiku ini. Tapi kau tenang saja. Uceng, siongan, belut, dan mujair yang bermuara di perutmu jauh lebih enak daripada ini.”
Setiap pagi, semenjak celotehan Bara malam itu, aku tak pernah lagi memberinya apapun. Dia tak lagi mengeluh saat menyusuri permukaanku dengan geteknya dan pulang dengan tangan kosong. Mungkin dia sudah nyaman dengan sosis yang selalu datang tiap hari kepadanya. Sungguh, lebih baik aku menyaksikan orang bersenggama di tepianku daripada melihat Bara melahap hasil rintihanku di hadapanku setiap hari.
***
Setelah cukup lama, Bara baru menyadari satu hal, bahwa sejauh ini perutku sangat kotor, bau, dan sudah menyusut setengah. Ia mulai curiga dan bertanya-tanya. Ada yang tidak beres denganku. Ia ingat pada sosis ikan yang sering dimakannya. Spontan, Bara melirik pada cerobong Pabrik Ambang Segara. Matanya membelalak. Pagi itu ia nekat menyelam ke dasarku. Tak begitu sulit baginya karena perutku sudah tinggal setengah. Tapi Bara sedikit terganggu karena perutku semakin bau dan tercemar. Ia menciumiku di dasar, cukup lama.
“Seharusnya aku tahu. Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Darani. Aku bodoh. Maafkan aku.”
Dengan tubuh yang basah kuyup, ia pergi ke sebuah lahan tambak ikan milik Pabrik Ambang Segara. Ia menghampiri seorang karyawan di sana. Sebuah golok digenggam erat-erat di tangan kanannya. Ia menanyakan keberadaan pemiliknya.
“Bos kami tidak di sini. Di sini hanya kami, karyawan kecilnya. Beliau di kantornya. Di pabrik.”
Bara mendatangi Pabrik Ambang Segara. Ia berteriak layaknya orang sakit jiwa yang sedang mengamuk.
“Panggil Bos kalian!”
Semua karyawan riuh dan memanggil security. Tiga orang security datang dan menghadang Bara yang sedang terbakar emosi.
“Suruh dia kalian keluar. Dia harus bertanggung jawab pada Darani yang tercemar.”
“Anda siapa?” Tanya security dengan lantang.
“Aku Bara, kekasih Darani yang telah kalian racuni.”
Semua karyawan di pabrik itu terbahak. Tak satupun orang mengindahkan kata-katanya. Mereka semakin yakin akan ketidakwarasan Bara.
“Ada apa ini?” Seorang lelaki dengan jas setelan dan dasi merah datang sejurus kemudian.
“Jadi ini bos yang tidak tahu diri itu. Kau harus bertanggung jawab atas kerusakan di Waduk Darani. Waduk Darani tercemar dan susut gara-gara pabrik sialan ini!” Bara sampai di puncak pitamnya.
“Anda ini siapa?”
“Tak usah banyak tanya. Pokoknya kau harus bertanggung jawab, atau golok ini tak segan menebas kepalamu.”
Lelaki itu berbisik pada security-nya. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Mari ikut saya ke kantor.”
***
Di ruangan yang nyaman dan berfasilitas itu, Bara terlibat dalam sebuah perbincangan. “Bagaimana kalau Anda saya pekerjakan di pabrik ini. Saya bisa memberi anda posisi yang nyaman dan gaji yang pantas. Anda tidak perlu mempermasalahkan Darani lagi. Bagaimana?”
“Lebih baik saya mati daripada harus bekerja di pabrik sialan ini.” Bara mengamuk dan menggebrak meja.
Lelaki berjas itu menghelas nafas dan mengangguk pelan.
“Baiklah.” Ujarnya.
Dhuar! Sebuah letupan terdengar keras menggelegar. Bara terjerembab di atas lantai. Sebuah peluru menancap di pelipisnya. Security itu menembaknya. Bara tak lagi berkutik. Nafasnya selesai sampai di situ. Tiga orang security membawanya ke tempat hening, lalu mendirusnya dengan minyak tanah. Salah seorang dari mereka menyulut batang korek dan melemparnya dengan sepenuh tega ke tubuh Bara.
Aku tak berdaya setelah tahu Bara dibinasakan oleh orang-orang tak berhati nurnai itu. Kobaran api yang menjilat tubuhnya membuatku depresi berat. Aku tak ingin hidup lebih lama. Lebih baik aku kering dan mati, sehingga bisa menyusul Bara. Saat itu aku menengadah dan berdoa.
“Gusti, tak ada lagi yang membuatku tersenyum di muka bumi ini. Sudikah Engkau membiarkanku hidup dalam rintihan yang abadi. Lebih baik Kau keringkan dan matikan aku. Izinkan aku menyusul Bara kekasihku. Izinkan aku bersanding dengannya. Biarkan aku menjadi waduk baginya di nirwana. Izinkan kami bersama kembali, Gusti.”
Tak berapa lama setelah doa yang kumunajatkan itu, awan hitam datang berlegiun meringkus matahari, menggelapkan seluruh desa. Tak ada hujan yang merembes. Petir menggelegar di sana sini, dan menyambar atap Pabrik Ambang Segara. Lampu-lampu pabrik semua padam. Sebuah percikan api dari korselting istrik menjelma kobaran dahsyat dan melahap pabrik itu beserta isinya dalam sekejap pandang.
Sementara itu, airku terus menyusut dengan cepat, hingga kering dan tak bersisa. Angin ribut tak henti mendera. Perutku retak porak poranda. Aku menyaksikan dunia untuk yang terakhir kalinya. Setelah ini, aku akan menjadi waduk di nirwana. Untuk Bara.


*Ajun Nimbara, lahir di Sumenep, 16 Juli. Tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Pelangi Sastra Malang. Cerpen-cerpennya tergabung dalam antologi Secangkir Kontradiksi (2015), Orang-orang dalam Menggelar Upacara (2015).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

MENYELAMI SASTRA KLASIK JEPANG LEWAT KUMPULAN CERPEN "LUKISAN NERAKA" KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA