ELEGI SI TUMBANG KAKI (Antologi "Coretan Inspirasiku")
Dia
keluar dari pintu lab medis dengan raut sumringah bersama seorang dokter senior
yang menyertai di sampingnya. Ingar bingar wartawan mendesak para bodyguard, merangsek mereka dengan penuh
harap dapat menangkap sepotong kajian aktual yang bisa mereka posting di media.
Dalam hitungan detik para wartawan berhasil mencegat piawai medis itu.
Dia
berjalan tidak sempurna. Gelambir perutnya menghambat kakinya yang hendak melangkah. Kacamatanya begitu kontras. Lengan bajunya yang dipilin
serabutan, belum sempat ia labuhkan. Keringatnya masih berceceran di pelipis
dan dahinya.
“Bagaimana
kondisi beliau, apa beliau bisa kembali normal?”
Seorang wartawan memulai pertanyaan
“Ya, insyaallah. Kami sudah membedah kakinya
sebaik mungkin. Hasilnya dapat diketahui setelah ia
melakukan terapi selama kurang lebih satu bulan. Sementara ini beliau harus memakai kursi roda” Timpal pemuda itu sembari
menghela nafas berkali-kali, sisa dari capeknya.
Katanya ia akan mendapat reward berkat aksi heroiknya. Entah dari siapa.
***
Sebelum
itu, ada sebuah fragmen yang patut untuk ditelisik. Terbang kembali ke sepuluh
tahun silam memang sangat memilukan. Sungguh tragis rasanya dibanding
pembunuhan liar atau peperangan.
Waktu itu, seorang
anak penyandang dua belas tahun hidup
di ranah alas dengan bebasnya. Bermain
dengan teman sejawat dan memandang bentang alam. Sangat senang rasanya
menghirup atmosfer kebabasan dan keluasan bertingkah. Tapi, semua itu sirna
setelah tragedi yang melumerkan jiwa
dan raganya. Tapi dari situ jualah, anak alas yang hanya mampu meneropong
kebebasan, akhirnya juga bisa menerawang mimpi.
Sejatinya, mimpi yang hadir dari kemurkaan. Kemurkaan yang
tersulut karena kesewenangan.
Suatu
subuh, anak
alas itu sedang bermain sepak bola bersama kawan-kawannya. Dia diakui sebagai
pemain terhandal. Mungkin
itu semua berkat kepiawaian kakinya. Tanpa disangka, bola yang terlalu keras ditendangnya
menukik ke tengah jalan. Ya, toh, tinggal
ambil saja.
Ia kurang perhitungan. Sebuah Jeep tanpa tudung melaju dengan kecepatan tinggi.
Klaksonnya melengking setelah Jeep itu hanya berjarak kurang lebih enam meter
dari raganya. Kepaninkan
membuatnya tersandung dan terlambat
mengambil keputusan. Memang benar separuh tubuhnya berhasil menghindar. Tapi tidak untuk kaki kanan. Ia
dalam posisi telentang, tegak lurus dengan mulut Jeep. Sorot cahayanya menyilaukan. Jeep itu melintas
dengan deras tanpa memberi ampun. Sebuah kaki kanan remuk dilibasnya.
Perhatikan
kejanggalan ini. Di Rumah Sakit, kawanan tim medis berduyun-duyun menyiapkan
segala keperluan bedah dengan masih sempatnya bergurau di tengah kepedihan yang
diderita anak alas itu. Teriakan dan tangisannya tidak mengulum tawa biadab
mereka.
Keparat! Terakhir anak alas itu melihat mereka tertawa
ria di bilik pintu ruang operasi bedah sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri
akibat cairan bius yang menjalari tubuhnya.
Pasca
operasi, saat
ia membuka selimut yang tergelar di atas badan, ia canggung. Kaki kanannya
jelek. Buruk sekali. Padahal dokter sempat bilang bahwa kakinya bisa normal seperti biasa setelah dibedah.
“Wajah-wajah itu
penyebabnya! Aku tidak akan melupakan ini. Tawa kalian akan terus kuingat. Kesewenangan
kalian, akan kubayar nanti. Enyah kalian!” Ia begitu geram.
Tragis, bukan? Itu dulu. Tapi ucapan anak alas itu
terus bergeming hingga ia beranjak mandiri. Di usianya yang genap dua puluh dua
tahun, ia terus berjuang melangkahkan kakinya yang tumbang sebelah.
***
27 Juli 2013
Anak
alas itu ternyata memiliki nama yang keren dan fakultasnya juga lumayan eksis.
Theo, anak keperawatan. Ia memang tidak akrab dengan para dosen, apalagi rektor.
Hanya saja ia tak segan menyapanya ketika beliau pulang dari kantor kampus
setelah mengcross-check data statistik dari
staffnya.
Sangat
larut kala itu. Angin
malam merebak. Rektor yang sedang
terpaku di halte sebelah kampus takjub melihat seorang pemuda botak belepotan anting di
mulut, hidung dan telinganya. Tattoonya
menjalar di sepanjang lengannya. Ia menggenggam sebuah kerakeling mengkilat.
Sepertinya masih baru. Pemuda bertindik itu menatap rektor dengan pongah. Lantas menghunus kerakelingnya.
“Serahkan
tasmu!”
Pintanya dengan ancaman.
Beliau
terkejut. Tubuhnya
gemetar. Tanpa pikir panjang beliau kabur secepat mungkin. Namun sayang sekali,
usia setengah abadnya tak dapat menghindari derap pacu si botak yang
mengekornya. Dia berhasil menjegal kerakeling di leher rektor, merampas paksa tasnya dan meringkusnya
di tengah jalan.
Belum
cukup sampai di situ. Deruman mobil yang sedang melaju kencang menyerempet
mulus kakinya yang terikat tampar. Kemudi mobil itu dikendalikan kawan si
botak. Beliau menjerit kencang. Berteriak sekuat tenaga, berharap seseorang datang
menolongnya.
Di saat
genting itu, dia muncul. Lari tergopoh-gopoh dengan kaki tumbangnya menuju rektor. Ia melepas simpul petaka yang melilit beliau.
“Tahan
pak, saya panggil angkot dulu” Ia melambaikan tangannya pada sebuah pick up tanpa borongan barang.
“Astaghfirullah, kenapa ini? Ayo cepat
bopong dia ke rumah sakit” Timpal sopir pick
up turut gusar.
Petaka
kembali menghardik. Baru sebentar saja pick
up itu berderum, terdengar jelas letupan dua peluru. Benar, ban pick up ditembaki. Mereka semakin gusar.
“Sudah,
bawa saja ke lab
medis kampus. Tidak
dikunci kok”
Sergah Theo
Sopir pick up
itu segera merebahkan rektor di kasur pasien.
“Bang, tolong cari dokter, siapa saja.
Suruh kesini secepatnya. Untuk sementara saya yang akan
menangani Pak Rektor”
“Aden
yakin? Jangan
sok tahu deh, ntar malah tambah runyam urusan”
“Cepat
cari saja, jangan banyak komplain”
“Adduh, baiklah” Sopir itu berlari
mencari seorang dokter, entah kemana.
Sementara
Theo sibuk menyiapkan peralatan medis yang ia butuhkan. Seorang diri. Dia
sendiri sangsi dengan tindakannya. Tapi, mau
bagaimana lagi. Segenap ilmu dan tenaganya ia kerahkan.
“Tidak
akan terulang, tidak akan!” Hatinya bergumam. Sarung tangan medis yang dikenakannya
belepotan darah. Dua buah kaki itu bagaikan refleksi kaki kanannya.
Theo
sama sekali tidak kewalahan. Jiwanya kian berkobar. Tangannya kian ligat
merayapi titik-titik darurat di kedua kaki Rektor. Satu
jam lebih ia menggencarkan pembedahan tanpa istirahat. Raut pucat Theo mulai terpancar.
Sayup-sayup, derap langkah segerombolan orang terdengar, sepertinya menuju ke
ruang lab. Pintu lab tersibak. Seorang dokter berdiri canggung bersama kawanan
perawat.
“Syukurlah.
Ayo, kita tidak punya waktu banyak” Theo menghela nafas.
“Baiklah.
Kita selesaikan sekarang” Dokter dan perawat-perawat itu berduyun-duyun
mengambil alat medis. Operasi
bedah kembali digencarkan. Lebih serius. Jendela harapan kembali tersibak dengan kedatangan para ahli medis.
***
Senyuman
merebak di lab medis. Nafas mereka naik turun. Pakaian mereka dibanjiri
keringat perjuangan. Semua alat dikemas setelah berjam-jam berkutat di lab
medis. Operasi selesai. Para wartawan dan
keluarga telah menanti di depan.
***
30 Agustus 2013
Sore
itu, Sang Surya di ufuk barat menjadi saksi perjuangan.
Degup jantung Theo semakin meracau, terlebih saat rektor tengah mengambil
ancang-ancang. Inilah saatnya pemuda itu
membuktikan mimpinya. Ia menunggu rektor mengumpulkan sukmanya. Beliau bangkit,
menapak lantai dan mengepal erat gagang kursi
roda tempatnya terkapar. Geraham giginya tertekan. Dua
kakinya menapak.
Degup jantungnya seperti berhenti sesaat.
Sang rektor berdiri. Kedua tangannya memegang
erat tangan perawat di samping
kanan kirinya. Kini tangan kirinya dilepas.
Beliau masih kuat. Sekarang ia mempersiapkan peluncuran tangan kananya. Dan
Go on! Sempurna. Beliau berdiri dengan
sempurna. Operasi berhasil. Mimpi
terenggut dengan mulusnya.
***
Rekahan mimpi yang kini menyatu dan merekah dari sepucuk
kepedihan yang fana. Mimpi yang meledak bersama deburan murkanya. Beruntung
Theo hanya mengingat tawa biadab mereka, bukan wajah mereka. Ah,
sebuah pembalasan yang indah.
Komentar
Posting Komentar