RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA


Judul Buku                   : Bibir
Jenis Buku                   : Kumpulan Cerita Pendek
Pengarang/Author        : Krishna Mihardja
Illustrator                     : Budiono, S.Pd.
Penerbit                       : Gama Media
Tahun Terbit                : 2001
Cetakan Pertama         : Maret, 2001
Cetakan Kedua           : Maret, 2006
Tebal                           : 176 halaman
Kertas Isi                     : HVS 70 gr/puih
Kertas Kulit                 : AC 180 gr
ISBN                           : 979-9193-59-1






        –Seperti biasanya pasukan pengaman, mantan gali itu, lebih dahulu bertindak daripada berpikir. Kiranya semua itu seperti telah diramalkan oleh kelompok bibir yang menguntit Pak Lurah. Tak satupun bibir ngeri melihat pasukan pengaman yang berbadan besar. Mungkin semua itu telah diperhitungkan. Bahwa menghujat seorang kepala sama halnya berhadapan dengan tembok pengaman yang liar ganas dan sama sekali jauh dari peradaban dan  budaya.--Demikian potret kelabu itu dalam Bibir. Lebih jauh lagi penulis merekam suasana demokrasi dalam “Calur” dalam kalimat: Sederhana saja yang ada dalam pikiran warga desa itu. Menerima uang, membandingkan jumlah yang diterimanya, kemudian pada hari pemungutan suara dia harus datang dan mencoblos tanda gambar calon lurah yang memberinya uang lebih banyak. Hanya itu. Sederhana sekali.

            Kadangkala sebuah karya seni lebih bisa merekam situasi dan kondisi jaman, lebih realistis, lebih bisa bercerita daripada sebuah karya sejarah. Penulis ini lebih suka berpihak pada ketertindasan, kesengsaraan, kelemahan, dan segala kekelabuan jaman. Dari gaya ceritanya yang berbau seniman dan sastrawan, penulis nampaknya lebih suka duduk di pojok-pojok sepi yang kumuh, di pinggiran sunyi, daripada di atas hingar bingar panggung dengan berpuluh sinar kemewahan. Kumpulan Cerpen BIBIR ini salah satu bukti adanya situasi dan kondisi kelabu yang lepas dari bidikan. Warna kelabu mungkin menyakitkan, tetapi mengingkari kenyataan akan lebih menyakitkan lagi. Kumpulan cerpen BIBIR adalah cara kita melihat lagi sesuatu yang di masa lampau lepas dari mata. Mungkin kita akan tertawa sehabis membaca, atau menangis, atau menangis sambil tertawa, atau bahkan tidak apa-apa.

            Segar dan inspiratif. Itulah kesan awal saya setelah membaca buku kumpulan cerpen ini. Buku ditulis oleh seorang sastrawan berdomisili Yogya, Krishna Mihardja yang juga berprofesi sebagai guru matematika. Beliau lahir di Yogyakarta, 17 September 1957. Buku ini adalah bagian kecil dari karyanya. Banyak nilai-nilai seni yang terkandung dari tiap ceritanya, mulai dari diksi, imajinasi, alur dan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Salah satu yang menjadi pembeda dibanding cerpen lainnya, alur kisah yang disampaikan sering kali berupa khayalan atau fragmen yang tidak bisa dilogikaka. Namun jika dikaji secara teliti, kita akan menemukan makna tersirat dan pesan yang begitu dalam. Justru gaya bercerita seperti ini yang menjadi ciri khas penulis. Bermacam-macam pesan mulai dari moral, pendidikan, kepemimpinan, demokrasi, dan lain sebagainya. Ceritanya tidak monoton, selalu bisa membuat pembaca terbawa oleh suasana di dalam cerita.

            Alur kisah berupa khayalan atau imajinasi kurang logis itu bisa kita lihat dalam fragmen yang berjudul “Bibir” itu sendiri, yakni sebagai berikut:
            “Pak Kaursus dengan cepat berlari keluar ruang sambil membawa dua daun telinga Pak Lurah dan kini diletakkan di halaman kelurahan. Benar juga, semua bibir itu kini berceloteh ramai sekali di dekat dua daun telinga yang tergeletak itu.
            “Benar, Pak. Mereka mengerumuni daun telinga itu.” Ucap Pak Kaursus ketika tiba di ruag rapat.

            Sejatinya, kisah ini menceritakan seorang Lurah yang bertindak otoriter dan sewenang-wenang. Dia menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Bukan korupsi atau manipulasi, tapi kolusi dan monopoli. Diceritakan bahwa tukang kebun yang luka jidatnya akibat dilukai Si Lurah, dan seketika luka itu membesar dan menjadi sebuah bibir yang berbicara, hingga akhirnya bibir itu terus bertambah banyak dan mengejar Pak Lurah. Ini merupakan pengandaian kisah yang begitu menarik. Sebenarnya, bibir itu merupakan permisalan dari masyarakat yang menyampaikan keluh kesah dan protesnya kepada Sang Lurah. Dan telinga itu adalah sebagai orang-orang bawahan lurah yang ditugaskan mendengar berbagai aspirasi rakyat. Secara implisit, kisah ini mengandung pesan agar lebih bertanggung jawab dalam mengemban amanah, tidak sewenang-wenang dan mementingkan masyarakat.

            Sama halnya dengan cerpen yang berjudul “Topeng”. Jenis cerintanya sama dengan “Bibir”, berupa khayalan dan tidak logis jika ditafsir secara monoton. Hanya saja pesan yang terkandung berbeda. Hal ini dapat kita buktikan dengan cuplikan cerpen “Topeng” berikut.
            “Pakkk...! Ternata kau yang melahap gadis-gadis itu!” Sebuah hunjaman pisau mengarah ke jantung Den Lurah, mengakhiri teriakan Bu Lurah yang penuh kemarah panjang.

            Tidak logis bukan, seorang manusia melahap manusia hidup-hidup. Sekali lagi, itu hanyalah pengandaian dan ciri khas gaya bercerita dari penulis. Dikisahkan seorang Lurah sedang melihat kesenian topeng. Dia tertarik dengan salah satu topeng yang bernama barongan, karena pemeran barongan itu ketika menari tidak memperhatikan tempo dan irama. Ia bebas menari. Ini merupakan kiasan yang mengandung makna bahwa Den Lurah menginginkan kebebasan luas dalam hidupnya. Maka Den Lurahpun memasang topeng itu dan menari sepuasnya, hingga ternyata topeng itu tidak bisa dilepas dengan cara apapun. Ini berarti bahwa Den Lurah sudah terkontaminasi dengan hawa kebebasan dan tidak bisa lepas dari gaya hidup bebasnya, sampai akhirnya ia mencabuli gadis warga desa sebagaimana cuplikan cerita di atas.

            Lain halnya dengan Cerpen Krishna Mihardja yang berjudul “Kaki”. Walaupun masih sama berkisah hal yang khayal, namun pesan moral dan temanya berbeda. Cerpen ini berkisah tentang kehidupan rumah tangga. Berikut cuplikan fragmen yang mengandung khayalan dalam cerpen “Kaki”.
            Ibu mertua dan suaminya masih tampak tidur pulas. Diangkatnya pisau daging yang besar dan tajam itu. Satu, dua, tiga.... crakkkk...crakkkk..... dua kali sabetan, dua buah kaki terpotong. Segera wanita itu memasang kaki mertuanya di tubuh suaminya.

            Cerpen ini sebenarnya berkisah tentang seoarng suami yang masih terlalu bergantung pada ibu kandungnya, padahal ia memiliki istri. Karena sang istri merasa jengkel, maka ia berbuat nekat kepada ibu suaminya sekiranya suaminya tidak lagi bergantung pada ibunya. Dalam cerpen, sang suami diibaratkan orang berkaki cacat, yang kemana-kemana selalu minta didampingi ibunya, sehingga sang istri jengkel dan nekat memotong kaki ibu suaminya untuk kemudian dipasang ke kaki suaminya.

            Masih banyak judul lain dalam kumpulan cerpen ini, diantaranya adalah: Setro Wagu, Sol, Jakarta Berbunga, Tik, Kepala Dewan, Tivi, Kongres, Calur, Bakiak, Theplo, Hiperopia, Pintu, Kemin, Reuni, Namaku: Asu, dan Sinden yang tidak dapat saya resensi satu per satu.

            Kelebihan dari buku ini adalah pesan moral yang sangat mendalam di tiap-tiap cerita, penyampaian dalam imajinasi yang begitu unik dan yang mengundang pusat perhatian pembaca, sehingga pembaca tidak akan bosan dengan alur cerita yang penuh dengan teka-teki dan kemisteriusan. Adanya gambar ilustrasi juga semakin membangkitkan daya imajinasi dan lebih menghidupkan cerita. Namun, dalam setiap kelebihan sudah pasti ada kekurangan. Salah satu kekurangan yang dapat saya tarik adalah setiap cerita menggunakan sudut pandang orang ke tiga sebagai pelaku utama. Akan lebih baik jika sudut pandang dibuat bervariasi, atau menyertakan kisah dengan sudut pandang pertama sebagai pelaku utama, agar pembaca juga seolah-olah lebih terlibat dengan adanya tokoh “Aku” dalam cerpen.

            
Buku dipoles sedemikian rupa, selain untuk bercerita, juga memberi pandangan hidup kepada para pembaca agar kita bisa menentukan jalan hidup dan membentuk karakter serta pribadi yang manusiawi, berakhlak dan bermoral, serta dapat memberi kontribusi baik bagi masyarakat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJA BERKABUT MERAH DAN LELAKI YANG PERNAH KUCINTAI (Malang Post, 9 April 2017)

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212