WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Siapa yang masih ingat dengan tokoh di atas? Bagi kalian yang sekarang berumur 18 tahun ke atas, mungkin masih kenal dengan dia. Ya, dia adalah Wiro Sableng si pendekar kapak maut naga geni 212. Dulu waktu masih kecil, saya suka sekali menonton sinetron ini. Tapi ya namanya anak kecil, dulu saya tidak peduli pada latar konflik, alur, esensi ataupun nilai-nilai yang ada di dalamnya. Yang saya perhatikan hanya pertarungan dan pertarungan Wiro Sableng melawan musuh-musuhnya yang jahat.
Tempo hari, saya kembali teringat dengan film yang diadaptasi dari novel karya alm. Bastian Tito ini. Entah kenapa tiba-tiba ada hasrat untuk menontonnya kembali. Akhirnya keinginan kecil itu terpenuhi berkat jasa You Tube. Hehehe.
Setelah saya menontonnya kembali beberapa episode (tentunya dengan lebih memahami), ternyata banyak sekali nilai-nilai luhur yang tertuang dalam film ini. Banyak sekali nilai-nilai sosial, pendidikan dan agama yang cukup tersampaikan kepada penontonnya. Saya baru menyadari itu setelah meniliknya kembali. Mungkin visual effect film ini tidak sebagus sekarang dan acting beberapa para pemerannya terkesan flat dan kurang ekspresi. Tapi justru menurut saya film ini lebih berhasil menyampaikan nilai moralnya daripada film-film sejenis Wiro Sableng di zaman sekarang.
Seperti yang kita tahu, tidak ada karya yang sempurna (kecuali Al-Quran), termasuk novel Bastian Tito yang difilmkan ini juga tidak lepas dari beberapa kekurangan. Sebatas kita mungkin melihat banyak sekali aksi-aksi khurofat dan tahayul seperti senjata-senjata yang memiliki kekuatan, tangan yang memancarkan sinar, tubuh yang terbang dan menghilang, dan ajian-ajian sakti mandraguna. Kalau kita mau mengesampingkan itu dan mencari nilai positif dengan filter yang baik, insyaAllah ada hikmahnya.
Sewaktu Wiro bayi, ia ditinggal mati oleh Suci (ibu) dan Raden Ranaweleng (ayah). Mereka tewas saat dihantam pukulan Kelabang Hijau milik Mahesa Birawa. Saat rumah mereka dibakar dan Wiro bayi ada di dalam rumah itu, Eyang Sinto Weni (Sinto Gendeng) datang menyelamatkannya. Dari situlah kemudian selama 17 tahun Sinto Gendeng mengajari ilmu silat dan menurunkan semua ilmunya pada Wiro. Semua ilmu itu diajarkan kepadanya bukan untuk membalaskan dendam pada Mahesa Birawa, namun untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan kejinya. Saat waktunya tiba dan mereka akan berpisah, Sinto Gendeng menghadiahkan pusaka sakti pada Wiro, yakni Kapak Maut Naga Geni 212. Sinto Gendeng memberikan sebuah rajah bertuliskan angka 212 di dada dan tangan kanan Wiro. Sinto gendeng memberinya pemahaman tentang falsafah yang terkandung dalam angka itu. Sungguh menarik. Ternyata, setelah ditelusuri oleh para ahli hikmah, 212 memiliki makna yang sangat dalam dan tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari.
Angka 212 mempunyai makna filosofis dimana di dalam dan di luar tubuh manusia terdapat dua unsur yang saling bertentangan namun merupakan pasangan. Hal ini mewakili angka 2, dan semua unsur itu berasal dari yang 1, yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Angka 2 dan 1 hampir mewarnai seluruh organ tubuh manusia, seperti 2 mata, 2 telinga, 1 kepala, 2 lubang hidung, 1 batang hidung, 2 bibir (atas dan bawah), 1 mulut, 2 tangan, 2 kaki, 1 tubuh. Kesemuanya itu didominasi oleh angka 2,1 dan 2. Hal inilah yang selalu mengingatkan kita bahwa semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah. Adapun unsur di luar tubuh yang cenderung bertentangan namun berpasangan seperti pria dan wanita, air dan api, gelap dan terang, dan masih banyak lagi yang bertentangan namun berpasangan yang menggunakan angka 2. Intinya adalah, 2 unsur yang bertentangan dan berpasangan itu bersumber pada satu, Tuhan yang Maha Esa.
Saat melihat episode demi episode, banyak sekali pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan oleh film ini. Di antaranya adalah, kita dilarang memiliki rasa dendam kepada orang lain, sekalipun ia telah menjahati kita. Karena dendam tidak akan pernah terpuaskan. Kita juga dilarang merampas hak milik orang lain, menindas rakyat kecil, berkhianat kepada pemimpin, menyalahgunakan kekuasaan, dll. Selain larangan-larangan itu, film ini juga memperlihatkan bagaimana menjadi pemimpin yang adil, menjadi orang yang berani menyampaikan kebaikan maupun mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi mungkar).
Sebagai penikmat, kita harus pandai memfilter apa-apa yang yang kita tonton. Jangan lantas kita cerna semuanya. Ibarat buah durian, kita hanya memakan bagian yang sepantasnya. Tidak mungkin kita memakan kulitnya yang berduri atau bijinya yang keras. Sama halnya dengan film ini, kita ambil hikmah yang sepantasnya, tidak harus semua. Apa yang baik seperti nilai-nilai moral, agama dan kemanusiaan kita tanamkan dalam diri kita. Dan apa yang bertentangan seperti khurofat, tahayul, pusaka sakti dan aji-ajian kita kesampingkan saja, tak usah ditelaah apalagi dipraktekkan. Itulah pentingnya disiplin ilmu, agar kita tidak asal memilih, dan akhirnya jatuh ke lubang semu. Salam 212.
Komentar
Posting Komentar