TAMU TERHORMAT (Koran Madura, 12 Agustus 2016)
Dua tiga
pesawat yang bertolak dari Bandar Udara Ngurah Rai melintas di depan matanya
yang terpaku pada bacaan. Di samping itu, ia biarkan degung-degung bertempo
dinamis kembali menyihir senyumnya. Menghabiskan pagi dengan berjemur di bawah
terik di tepi pantai Pulau Dewata sudah menjadi candu bagi wisatawan mancanegara,
tak terkecuali Samantha.
Malam ini
bersama Ni Ketut Pudji ia bermalam di sebuah bungalow klasik. Dominasi bahan
kayunya terkesan tradisional. Teduh dan nyaman disinggahi. Bersanding dengan
hening di tempat eksotis ini, Samantha lebih berkonsentrasi menggarap
tulisannya yang sudah dikontrak penerbit terkemuka di negerinya, Singapura.
Sebuah gong
kayu yang tergantung dari bawah talang atap bungalow itu konon adalah sarana
pemanggil roh-roh ghaib. Bagian badan gong yang rumpang diukir menjadi bentuk
hantu menyeringai dengan gigi taring yang menjuntai. Tongkat penabuhnya
menyerupai penis besar menegang yang dijulurkan sang hantu di antara
cakar-cakarnya.
Malam itu,
mimpi-mimpi mendera tidurnya lagi. Jelas saja ia enggan mengatakannya lucid
dreaming atau mimpi absurd, karena itu buka kali pertama ia disapa bunga tidur
yang serupa. Beberapa ekor gajah hitam besar dilihatnya keluar dari sebuah
bungalow tradisional, berjalan menerabas pohon-pohon kelapa yang rimbun.
Samantha nyaris terinjak kaki raksasa mereka. Gajah-gajah ituhitam layaknya macan
kumbangyang samar di kegelapan. Petang menyusul setelah gajah-gajah itu
menghilang bersamaan dengan tenggelamnya senja.
“Apa
untungnya mempercayai oneirologi?” Tanyanya suatu saat.
“Entahlah,
kau mungkin tidak bisa memahaminya. Tapi bagi kami, itu adalah sebuah sinyal
tentang masa depan. Seperti gajah-gajah yang keluar dari bungalow itu, adalah
pertanda akan datangnya tamu terhormat”
“Jadi,
setelah para gajah itu berkali-kali menjejali tidurku, apakah aku harus selalu
siap, berdandan cantik dan menyiapkan kudapan?”
“Begitu lebih
baik. Karena tamu yang terhormat tidak dapat diprediksi akan datang kapan.”
“Kalaupun aku
peduli, itu hanya karena aku percaya akan terjadi sesuatu yang baik.”
***
Matahari
berdiri tepat di atas kepala, sedangkan tamu yang dinanti belum juga datang.
Wangi parfum di badan Samantha mulai bias dihirup waktu. Mungkin nanti sore,
batinnya. Ia keluar dari bungalow menuju pusat perbelanjaan. Beberapa bahan
mentah dan kudapan dibelinya. Ia kembali ke bungalow dan menunggu tamu di balik
jendela yang menampilkan hijau pegunungan dan volcanoes yang berjejer di
sepanjang penjuru Bali.
Hingga malam,
tamu yang dinanti tak kunjung datang. Samantha beranjak dari sofa dan pergi
tidur. Ia memendam harapannya di atas kasur yang telah dilengkapi kelambu anti
nyamuk. Gajah-gajah itu kembali hadir dalam mimpinya. Mereka hitam dan besar,
keluar serempak dari rumah tradisional.
Tamu itu akan
datang. Entah hari ini, besok, lusa, atau besoknya lagi.
***
Langit
diselimuti kapas putih yang menentramkan. Embun merangkak-rangkak pelan pada
dinding rerumputan. Pohon-pohon kelapa menari serempak dipandu angin dan
kicauan camar. Debur ombak di kejauhan sayup terdengar beradu menerjang karang.
Samantha sedang asyik berenang di kolam dengan gaya kupu-kupunya yang menawan.
“Bersiaplah,
Sam. Siapa tahu tamunya datang hari ini.”
“Oke,
sebentar lagi.”
“Ingat, ini
tamu terhormat. Bukan sekedar orang-orang yang hendak meminta tanda tanganmu
atau ingin berfoto bersama penulis terkenal sepertimu.”
“Jangan
berlebihan.” Tukas Samantha dengan dialek baratnya.
Senja
tenggelam begitu saja, dan tamu yang dinanti pun tak kunjung datang. Samantha
kembali menghela nafas. Harapannya kembali pupus. Ia mulai kesal pada Pudji
oneirologinya.
“Jangan
begitu. Sang Dewata Agung tidak pernah salah menganugerahkan mimpi.”
“Tapi itu
keyakinanmu saja, Pudji.”
“Tidak,
memang begitu kebenarannya. Coba kau lihat keluar jendela. Kau lihat burung
tutit-tutit yang sedang berkicau itu?”
“Lantas?”
Samantha menjawab ketus.
“Menurut
cerita orang-orang tua dan bahkan sekarang, itu pertanda akan ada seseorangyang
akan meninggal. Dan hal ini pernah beberapa kali aku saksikan sebelumnya,
sebelum kau berkunjung kemari. Tak lama kemudian, seorang peselancar lokal
meninggal diseret ombak besar. Maka dari itulah, burung itu dinamakan burung
kematian.”
“Really? Lalu
menurutmu siapa?”
“Entahlah.
Jika boleh meminta, aku berharap Risna saja yang musnah dari muka bumi ini.”
Samantha
menghela nafas. Ia bisa memaklumi perasaan temannya itu. Ia bersama Ni Ketut
Pudji saat Risna dipanggil sebagaifirst runner up di ajangRip Curl Surftempo
hari. Pudjiyang harus menahan mukanya dihujam malu karena kecerobohannyasaat
berselancar melintasi gulungan ombak setinggi tiga meter.Kecerobohan itulah yang
membuatnya gagal meraih gelar juara.Pudji selalu ingat saat itu dengan
angkuhnyaRisna menyondongkan pantatnya yang berlapis bikini polkadot ke arah
Pudji yang berdiri limbung. Hingga sekarang, ia selalu merasa dilecehkan dan
tidak terima.
”Sudahlah,
Pudji. Sebaiknya kita tidur. Aku berharap tamu itu akan datang besok.”
“Percayalah.
Besok kita menunggu lagi sambil menonton Asian Surfing Champion di televisi.”
***
Hari ke-tiga
sejak Samntha memutuskan untuk berdiam diri di bungalow demi menunggu mimpinya
terwujud. Beberapa gumpal awan meredup, gelap. Samantha memandangi pohon kelapa
yang berjejer dan menarikan tarian yang serempak. Atmosfer pagi membuat otaknya
disinggahi inspirasi. Iamelanjutkan tulisannya di layar laptop. Mungkin butuh
waktu sekitar satu setengah bulan lagi untuk merampungkantulisan itu.
“Sam, aku
sudah menyiapkan semua. Bagiak, pie susu, pia legong dan aneka beverage. Besok
pagi kau akan kembali ke Singapura. Tamu yang dinanti mungkin akan datang hari
ini. Sebaiknya kamu bersiap-siap.”
Bulan mulai
tampak di sudut cakrawala. Beberapa bintang menambah aura keromantisan malam.
Tapi tamu yang dinanti tak juga kunjung datang.
“Ah,
sudahlah. Aku malas mengurung diri di sini hanya untuk sesuatu yang tidak
pasti. Aku ingin keluar, mencari angin malam dan ke diskotik.” Kekesalan
Samantha tak lagi dapat diredam.
“Bagaimana
kalau tamu itu datang?”
“I don’t
care. Kau mau ikut atau tidak?”
“Baiklah,
terserah kau saja.”
***
Pembahasan
tentang tamu terhormat tidak muncul lagi semenjak Samantha dan Pudjiterbawa
arus musik dinamis di area dansa diskotik. Tubuh mereka dibuat bergerak-gerak
seperti mobil lepas kendali. Berjoget seperti ritual seseorang untuk menghilangkan
beban pikiran. Keduanya pulang sempoyongan setelah menaklukkan sebotol brandy
karamel.
Mereka
berkendara di sepanjang jalan lengang, di bawah sinar bintang dan rembulan.
Antara sadar dan tidak sadar. Mereka tertawa di sepanjang jalan seperti baru
saja merasakan puncak kenikmatan. Derum motor yang mereka kendarai tidak
beraturan, kadang pelan kadang kencang. Sentrong lampu truk di persimpangan
tidak membuat mereka sadar. Seketika klakson melengking keras. Sebuah teriakan
terdengar namun masih kalah dengan lengkingan klakson. Dua buah raga yang
sedang mabuk dihajar mulus oleh bemper truk. Gelap seketika.
Sore itu
orang-orang berkumpul di depan bangunan klasik eksotis bernuansa Bali. Dua
jasad yang mengenaskan masih disemayamkan di dalam bangunan bercorak
tradisional yang tak lain adalah bungalow tempat Samantha dan Ni Ketut
Pudjibermalam. Beberapa jam kemudian para tamu berdatangan. Mereka berpakaian
hitam serempak sebagai simbol duka cita. Beberapa di antaranya adalah Wakil
Gubernur beserta para elit dan staf, duta-duta lokal, bahkan kalangan artis
yang kebetulan sedang berkepentingan di Bali. Mengingat Samantha adalah penulis
termasyhur kelas Internasional, maka orang-orang terhormat itu datang berbela
sungkawa atas kematiannya dan Ni Ketut Pudji yang mengenaskan. Beberapa burung
tutit-tutit masih berkicau di atas pohon-pohon kelapa yang berjejer di sebelah
kolam bungalow. Bali hari ini terik, walau beberapa mendung singgah di langit.
[*]
*) Ajun
Nimbara, nama pena dari Ahmad Junaidi ini ini lahir di Sumenep, Madura. Saat
ini tinggal di Malang dan aktif di Komunitas Pelangi Sastra Malang. Cerpennya
yang berjudul “Mahkota Perawan” tergabung dalam antologi Secangkir Kontradiksi
(Al-Qolam Publisher, 2015).
Komentar
Posting Komentar