IBU-IBU BLOK MELATI (Republika, 30 Agustus 2015)

Penghuni Blok Melati, Perumahan Asri Cendana, katanya istimewa. Blok ini dihuni rata-rata oleh kaum elite berlimpah materi. Di Blok Melati ada kediaman Pak Zayyid, seorang camat. Ada pula kediaman Pak Roekhan yang berprofesi sebagai dokter umum. Pak Ganjar, direktorat hulu di sebuah BUMN. Pak Sauki, direktur salah satu bank konvensional unit cabang. Pak Pupung, seorang perwira tinggi TNI AD dengan pangkat letnan jenderal. Pak Ramelan, seorang komisaris jenderal polisi. Pak Sumlah selaku ketua RT adalah seorang rektor di universitas swasta. Dan, masih banyak pak- pak berstatus sosial hartawan lainnya.


Di Blok Melati, akulah satu-satunya ibu rumah tangga bersuamikan seorang satpam.  Kami membeli rumah di blok ini sepekan lalu, setelah menjual rumah warisan almarhum menantuku di desa. Kami memilihnya karena rumah ini paling murah, dekat pula dengan tempat kerja suamiku. Tentu juga paling kecil dan paling sempit di antara rumah-rumah lainnya di Blok Melati. Tampak dari luar, rumah kami seperti bersembunyi di antara tembok raksasa bertingkat dan bergarasi. Atau, lebih tepatnya bagai tertelan.

***

Beberapa nama langsung dapat kuhafal setelah kurang lebih sebulan mendiami rumah ini. Selain mengenal mereka, saat tasyakuran kecil-kecilan di rumah, aku juga acap kali bersua saat membeli kebutuhan dapur pada Pak Pari, penjual sayur keliling yang lewat di blok ini setiap pagi dengan teriakan dan klaksonnya yang khas.

"Betah di rumah yang baru?" Tanya Bu Laksmi, istri salah seorang saudagar di blok ini.

"Alhamdulillah, Bu."

Satu kali pertanyaan dari istri saudagar itu akan menjelma menjadi obrolan panjang yang mengabaikan waktu. Saat ibu-ibu Blok Melati berkumpul mengelilingi Pak Pari maka bukan hanya transaksi yang terjadi. Sebuah topik pasti selalu dipilih untuk diperbincangkan. 

Ibu-ibu Blok Melati ini memiliki eksistensi tersendiri. Mereka kompak. Buktinya, jika ada acara sekampung RT, tasyakuran di blok lain dan semacamnya, pasti ada saja yang menyebut "Ibu-Ibu Blok Melati", seolah mereka resmi sebagai sebuah komunitas. 

Ramadhan lalu, ketua takmir Masjid Al- Khalil berujar, jangan lupa ibu-ibu Blok Melati diberikan suratnya. Surat itu adalah imbauan sumbangan berupa kue atau jajanan ringan untuk dibagikan kepada jamaah setelah shalat Tarawih. Di antara ibu-ibu blok Anggrek, Blok Sepatu, dan Blok Tulip, hanya ibu-ibu blok Melatilah yang sering disebut sebagai komunitas.

***
Tiga bulan lebih berumah di blok ini, aku sudah mengenal dan pernah berbincang dengan mereka semua, ibu-ibu Blok Melati. Aku pun sering mengikuti mereka ke mana-mana.  Kadang diajak makan ke restoran mahal dan ditraktir, walaupun aku merasa sungkan dan sudah menolak, mereka tetap saja memaksa dan membayari aku. Silaturahim ke blok-blok lain, menyambangi tetangga yang sakit dan semacamnya juga aku ikut. Walau memang, aku lebih banyak diam saat mereka heboh membahas topik yang tak pernah direncanakan. Lepas begitu saja dari mulut mereka.

Saat menyambangi anak Bu Parmila di Blok Tulip yang terkena demam dengue, aku ikut bersama mereka. Mereka sudah siap dengan kaleng bersegel berisi biskuit dan wafer yang akan diberikan pada Bu Parmila. Aku ikut saja. 

Setelah semua bersila di lantai, seketika topik tentang Bu Sumlah keluar. Ya, Bu Sumlah, istri Pak Sumlah, seorang rektor itu. Bu Sumlah jarang ikut nimbrung di berbagai kesempatan mengobrol. Dan memang setahuku, setiap kami berkumpul atau mendatangi seseorang atau sebuah tempat berombongan, aku tidak melihat istri Pak Sumlah ikut bergaul dengan kami.

"Atau jangan-jangan karena ada saya?"  Tanyaku sedikit terbata.

"Ah, nggak, Bu. Dia mah memang begitu. Jauh sebelum Bu Ninis berumah di blok ini, dia juga jarang ngumpul sama kita-kita. Mentang- mentang istri rektor dan menantunya jadi artis."

"Masak sih, Bu?" Tanyaku singkat saja, karena tak tahu harus menyambung dengan kalimat seperti apa.

Memang Bu Sumlah jarang sekali, bahkan tidak pernah ke mana-mana bersama ibu- ibu lain di Blok Melati. Saat belanja di Pak Pari juga, paling Bu Sumlah hanya senyum- senyum sekadarnya lalu pamit duluan. Entah, mungkin seperti yang dibicarakan mereka.  Karena gengsi. 

Perbincangan mereka berlanjut tentang Bu Sumlah. Katanya juga anaknya masuk cuma- cuma di kampus yang dipimpin suaminya itu.  Mana mungkin anak gadisnya yang otaknya pas-pasan itu bisa masuk kedokteran kalau bukan karena bapaknya yang memegang kuasa.  Aku kembali diam, menyimak.

***
Semalam, tiba-tiba rumah Pak Sumlah disatroni maling. Sepeda motornya hilang. Hal ini langsung menjadi perbincangan heboh ibu-ibu Blok Melati. Entah mendapat bisikan dari mana sehingga mereka bisa tahu secepat itu. Padahal, aku yakin Bu Sumlah tidak serta merta memberitahukan pada mereka.

Pagi itu, Bu Roekhan langsung menyambar Bu Sumlah dengan pertanyaan saat melihatnya keluar dari rumah menuju Pak Pari.

"Aduh, Bu, gimana sih. Kok bisa hilang motornya. Ceritanya gimana?"

Tak lama kemudan ibu-ibu yang lain datang meramaikan. Bu Sumlah hanya tersenyum. "Memang bukan rezekinya, Bu."

"Aduh, Bu, lain kali digembok yang benar pagarnya. Sayang loh, itu kan motor keluaran terbaru, mahal lagi. Jarang-jarang orang punya. 

Untung mobilnya masih selamat. Coba ikutan ludes, duh, kalau saya mungkin sudah masuk RS, Bu." Seloroh bu Lili, istri Pak Sauki.

"Semoga diganti Allah dengan yang lebih baik ya, Bu." Aku ikut menyambung, entah cocok atau tidak responsku bagi mereka. Ternyata semua mengamini, termasuk Bu Sumlah. Malah ia tersenyum renyah padaku.

"Oh, iya Bu, nanti siang ingatkan saya, ya.  Saya mau nyumbang buat program apa itu, yang santunan untuk anak yatim itu, loh?" Sejurus kemudian Bu Asih mengalihkan topik.

"Oh, iya, Bu. Terima kasih banyak. Insya Allah nanti saya ke rumah sampeyan."

"Bu Ninis jadi panitia?" Saat itu pertama kalinya Bu Sumlah bertanya padaku.

"Jadi relawan pengumpul dana, Bu."

"Oh, begitu. Main-main saja, Bu, ke rumah.  Tidak usah sungkan." Aku mengangguk dan tersenyum padanya.  Dia terlihat ramah. 

***
Mengenai dana santunan anak yatim itu, aku akan mendapat fee lebih, asal bisa melebihi target. Dan sampai saat ini, aku masih mendapat tiga perempat dari target. Masih kurang seperempat lagi sedangkan semua rumah di Blok Melati sudah kumintai sumbangan dan rumah-rumah blok lain yang kukenal sebagian. Hanya rumah Bu Sumlah yang belum kusambangi. Aku sendiri sungkan untuk bertamu ke rumahnya. Dari sekian banyak bibir yang berbicara, cukup membuat aku getir untuk menemuinya.

Entah pikiran apa yang tiba-tiba merasuk, sore itu juga aku melangkah menuju rumahnya.  Dengan bermodal salam dan memencet bel rumahnya, aku disambut langsung oleh Bu Sumlah. Ia mempersilakanku duduk.

"Tidak usah repot-repot, Bu." Tukasku saat mendengar keletuk benda pecah belah di dapur rumahnya.

Benar ternyata. Sejurus kemudian Bu Sumlah datang membawa secangkir minuman segar, lantas meletakkannya di atas meja. Dan tanpa basa basi, sebuah amplop langsung ia keluarkan dari kantung bajunya.

"Saya cuma bantu nyumbang sebisanya, Bu.  Mohon diterima. Tolong tidak usah bicara sama siapa pun ya, Bu, termasuk suami Ibu."

"Loh, memangnya kenapa?" Tanyaku heran "Sudah, pokoknya begitu saja. Mari diminum tehnya."
Secangkir teh mulai kuseruput perlahan sambil terheran-heran dengan perkataan Bu Sumlah barusan.
"Bu, boleh saya bertanya sesuatu. Tapi jangan tersinggung loh?"

"Silakan saja, Bu," jawab Bu Sumlah santai.

"Sebenarnya begini. Ibu-ibu tetangga sering ngomongin ibu, dibilangnya jarang sekali kumpul sama mereka. Ibu dibilang sombong dan segala macam. Gengsi lah, begitu.  Sebenarnya mengapa, Bu?"

"Itulah, bu, kenapa saya kurang suka mengobrol dengan mereka. Saya hanya kurang suka membicarakan orang lain, apalagi terlibat prasangka-prasangka buruk yang tidak jelas. Saya kurang suka ngomongin orang, apalagi kejelekannya. Ibu juga pasti sakit hati tho, jika tahu seseorang sedang ngomongin kejelekan Ibu di belakang?"

Saat itulah aku tersentak. Benar-benar tak habis pikir jika Bu Sumlah akan menjawab seperti itu. Di luar dugaanku.

"Jadi, menurut ibu, mereka itu tukang gosip?"

"Saya tidak bilang begitu. Saya kan hanya bilang, kalau saya kurang suka jika harus membicarakan orang lain dan berprasangka macam-macam. Berusaha menjaga hati saja, Bu."

"Hmm, saya mengerti." Aku mengangguk pelan, mencoba meresapi kalimatnya.

"Eh, Bu, atau jangan-jangan mereka juga pernah membicarakan saya? Mungkin tentang saya yang tidak tahu diri dan berani-beraninya orang miskin seperti saya membeli rumah di kawasan elite Blok Melati?"

Bu Sumlah hanya tersenyum, "Sudahlah, bu. Minum teh akan lebih menenangkan daripada menduga-duga yang tidak pasti."   Aku sepakat dengan jawabannya.


Jun Haiyy, pemilik nama asli Ahmad Junaidi ini adalah mahasiswa S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri  Malang.  Aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis. Peraih juara 1 Sayembara Cerpen Nasional Al-Qolam Writivation Festival 2014, UPI Bandung.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Jun Haiyy
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Republika" Minggu 30 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

MENYELAMI SASTRA KLASIK JEPANG LEWAT KUMPULAN CERPEN "LUKISAN NERAKA" KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA