BENCI BAKAR POTENSI (Elfata, Edisi 12 Vol. 13 2013)

Orientasi. itulah yang selama ini mendampingi aksiku dalam meniti kehidupan. Mengambil tindakan dan menanam prinsip. Awalnya, orientasi itu sama sekali tak jelas. Masa-masa yang begitu muram, seperti berada dalam kubangan lumpur jahiliyah. Potensiku seakan tak ada gunanya. Ah, itu masa lalu, masa putih abu-abu.
Aku duduk, terpekur di sebuah bench depan kampus ternama, Universitas Gadjah Mada. Beginilah rasanya, setelah melawan kebodohan dan kelalaian, berjuang dengan segenap tekad, sampai akhirnya sesuatu yang sangat aku benci menjadi bagian dari hidupku. Sama sekali tak terbayang bahwa aku bisa tembus di fakultas Teknik Fisika yang benar-benar aku benci sejak aku mengenalnya. Aku berostalgia, mengeja memoar silam, mengenangnya kembali di waktu senggang itu.
            Fisika, mata pelajaran yang paling aku benci. Ia seakan musuh dalam hidupku. Tentu saja kebencian itu membuatku bodoh dalam bidangnya. Hasil tes fisikaku tak ada yang lebih dari 50, itupun sebagian jawaban kudapat dari mencontek. Benar-benar musuh. Tak hanya pelajaran, gurunyapun kumusuhi. Jarang sekali aku memasang wajah akrab dan manis di depan mereka. Aku sinis pada guru-guru fisika itu. Aku benci fisika.
            Kadang aku kesal pada temanku yang pintar fisika. Tapi aku selalu berdalih aku yang menang. Toh, apa artinya pintar fisika tapi miskin pengetahuan agama. Aku merasa lebih baik daripada mereka dalam agama. Mulai dari mengaji, hafalan, tajwid, fiqih, aku unggul dibanding mereka. Itu yang membuatku merasa masih menang.
            Saat itu kenaikan kelas tiga SMA. Semua serba baru. Pelajaran baru, kelas baru, guru baru. Dan tentunya, musuh baru. Beberapa hari setelah KBM dimulai dan jadwal berjalan efektif, seorang guru baru masuk ke kelasku. Penampilannya terkesan paling beda menurutku pada saat itu. Pakaian dinasnya seperti jubah, jilbabnya terhampar melebihi dadanya. Beliau masuk sembari menenteng beberapa buku, salah satunya berjudul ‘FISIKA’. Nah, ketahuan, ini musuh baruku. Batinku saat itu.
            Beliau duduk, membuka interaksi dengan salam. Aku ingat, saat pertama beliau masuk, beliau tidak langsung memberi materi, namun perkenalan. Sejak itu aku tahu namanya, Bu Sakdiyah. Aku masih tertegun. Tiba-tiba, dia memberi pertanyaan. “Ada yang tahu, kenapa kita dianjurkan belajar fisika?” Teman-temanku pada diam.
            “Kita mempelajari fisika sebagai tanda syukur kita kepada Allah. Agar kita lebih kenal dengan ciptaannya. Jangan kira Al Quran tidak menjelaskan ilmu fisika. Fisika ada karena cikal bakalnya dari Al Quran. Mau tahu ayat-ayatnya? Mulai dari Allah menciptakan sesuatu sesuai ukuran dan takaran (Bab: Pengukuran), pertemuan dua laut yang mengalir, tahap penciptaan alam semesta, rotasi bumi, terjadinya siang dan malam, semua dijelaskan dalam Al Quran, dan diperinci dalam spesifikasi ilmu, yakni fisika” Aku masih hafal kata-kata itu. Aku terdecak kagum saat itu, terlebih saat dia berkali-kali melontarkan dalil-dalil Al-Quran dalam bahasa Arab, yang isinya relevan dengan fisika. Aku merasa ciut. Beliau seperti menguasai ilmu agama dan fisika. Rasa benciku pada fisika sedikit demi sedikit hilang seiring dengan bertambahnya keyakinanku, bahwa fisika adalah bagian dari Al Quran. Aku mulai mengekor bu Sakdiyah saat itu.
            Aku banyak melakukan konsultasi dengan beliau. Aku mengaku bahwa aku benci fisika. Aku tidak mampu berinteraksi dengan fisika. Aku juga bilang, bahwa aku lebih suka ilmu agama, karena aku ingin menegakkan islam, tapi aku tidak ingin menjadi ustadz atau guru agama, karena profesi itu biasanya dianggap terbelakang oleh masyarakat, walaupun aku tidak berasumsi demikian. Justru aku ingin menentang argumen dusta itu, hanya saja aku tak tahu bagaimana caranya.
            Bu Sakdiyah tersenyum. “Nak, kalau ingin menegakkan agama, kuasai ilmu dan jangan pernah membencinya. Agama sudah wajib untuk kamu pelajari, mereka yang mendahulukan fisika di atas agama adalah salah. Agama nomor satu dan tidak boleh digeser. Kita harus bisa menjelaskan ilmu agama tanpa harus menjadi ustadz atau guru agama. Dan, kita juga harus punya spesifikasi ilmu, agar masa depan kita jelas. Makanya tetapkan orientasimu. Semua karena Allah. Cobalah gali potensimu. Gali sedalam-dalamnya, dan jangan lupakan islammu” Kata-katanya mengobarkan azzamku. Aku mulai berpikir cinta pada fisika, mungkin karena Bu Sakdiyah.
            Aku mencoba menjalani sarannya untuk menggali potensi. Aku nekat memilih fisika saat itu, karena aku begitu terinspirasi dengan Bu Sakdiyah. Ahli agama nan berperawakan scientist, aku ingin seperti beliau. Aku mulai belajar, lebih bersungguh-sungguh. Namun ulanganku tak kunjung berubah, tetap di bawah 50. Aku kembali berputus asa.
            Saat aku jenuh, Bu Sakdiyah tak jemuhnya menyemangatiku. Aku berkonsultasi lagi dengannya, menyatakan kembali ketidaksanggupanku. Kemudian beliau menyuruhku mengambil mushaf terjemah. Beliau menyuruhku membuka surah Ar-Rahman, meyuruhku membacanya. Akupun membacanya hingga usai. Beliau memang sepertinya tak ragu dengan kemampuan tilawahku. Setelah itu, beliau menyuruhku membacakan arti ayat ke 19 surat itu. Itu tentang pertemuan dua laut yang mengalir. Beliaupun menjelasakan panjang lebar tentang ayat itu dengan penjelasan yang sangat ilmiah. Aku kembali terkesima. Aku kembali kagum. Semangatku berkobar kembali.
            Bu Sakdiyah pernah bertutur tentang hadits Nabi, bahwa boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, begitupun sebaliknya. Aku mulai mengasah lagi potensiku di bidang fisika. Nilaiku terus meningkat. Dan subhanallah, nilai UNAS fisikaku melesat tinggi di atas 90. Aku bersimpuh, bersujud syukur. Inspirasi itulah yang mengantarku bisa menjebol gerbang Universitas Gadjah Mada di teknik fisika. Allah telah menunjukkan Nur-Nya lewat raga Bu Sakdiyah. Inilah buah dari jerih payah do’a, ikhtiar, dan orientasi yang jelas, lillahita’ala.

NB: Terinspirasi dari kisah nyata, dinukil dari cuplikan fragmen dari rekan penulis, dan disampaikan dalam tokoh ‘Aku’


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

MENYELAMI SASTRA KLASIK JEPANG LEWAT KUMPULAN CERPEN "LUKISAN NERAKA" KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA