SUKASIR DAN UBAN (Minggu Pagi, 25 Agustus 2017)
Sejak
kecil Sukasir tak pernah membiarkan rambutnya tumbuh. Saat masih tujuh tahun, mendiang
ibunya pernah menyuruhnya mencabuti uban. Saat itu, ia bukanlah anak yang pandai
mencabuti uban. Akhirnya, rambut ibunya yang masih hitam pun ikut dicabutnya.
Tangannya belum pandai memegang sehelai rambut. Tapi ibu Sukasir tak pernah marah.
Ia tetap berlemah lembut dan memberi tahu cara yang benar mencabuti uban.
“Kenapa
harus dicabuti, bu?”
“Supaya
tidak cepat tua.” Jawab ibunya singkat.
Mungkin
ibunya tidak terlalu serius menanggapi pertanyaan Sukasir. Pikirnya, Sukasir
masih sangat belia dan tidak akan mencerna perkataannya dengan serius.
Tapi
siapa sadar, setelah Sukasir mencabuti semua uban ibunya dengan hasil yang
kurang sempurna, ia teringat perkataan ibunya. Ia mulai membayangkan dirinya
jika suatu saat nanti mulai tumbuh uban, maka itu adalah indikasi bahwa ia akan
semakin menua.
Anggaplah
satu uban mewakili nol sekian persen tingkat ketuaan. Ketika uban itu tumbuh
sebanyak empat atau lima puluh helai, maka tinggal menghitung saja persentase
ketuaan dirinya. Ia membayangkan dirinya menjadi tua dan keriput disebabkan
uban-uban itu. Pada akhirnya, Sukasir beranggapan bahwa semakin bertambah uban,
semakin dekat pula dengan kematian. Sejak saat itu Sukasir bertekad tidak akan
membiarkan sehelai uban tumbuh pada rambutnya dan rambut orang-orang yang
disayanginya.
***
Menjelang Idul Fitri, Sukasir
mendapat jatah cuti selama dua minggu dari tempanya bekerja. Betapa bahagianya ia
dapat pulang kampung. Bertemu dengan ibu, keluarga, dan tetangga-tetangganya
yang sangat ramah. Semua pakaian dan aneka oleh-oleh ia siapkan. Tepat saat
senja telah terbenam, ponselnya berdering. Tidak ada nama tersemat kecuali
angka-angka baru di layar ponsel.
“Apa!?” Ia tersentak. Suara lelaki
di telpon itu mengabarkan bahwa ibunya meninggal. Tanpa bertanya, Sukasir menutup
telpon dengan jantung naik turun. Ia gotong semua barangnya dan pulang malam
itu juga. Selimut dan bantalnya masih berantakan di kamar.
***
Orang-orang sudah berkerumun di
depan rumah. Bapak-bapak berkumpul. Ibu-ibu di dalam membaca ayat-ayat suci hingga
suaranya terdengar keluar. Ketika turun dari mobil, Sukasir sudah berderai air
mata. Ia langsung berlari menuju jenazah ibunya yang telah dikafani. Ia minta
izin pada Kiyai Subra untuk bisa membuka bagian wajahnya. Kiyai Subra
mengizinkan lalu membuka sebagian kain kafan ibu Sukasir di bagian wajah.
Sukasir mencoba menahan air matanya
untuk tidak menetes pada kulit wajah ibunya. Ia raba pipi ibunya yang sudah
keriput. Diusapnya rambut ibunya, dan ia menemukan sesuatu yang membuatnya
kecewa. Ya, Sukasir kecewa telah membiarkan uban-uban itu tumbuh liar di
permukaan rambut ibunya. Lihatlah, jenazahnya yang beku terlihat sangat tua
dengan adanya uban-uban itu. Mereka telah mengantar ibu mereka sampai pada
taraf kematian. Sukasir kecewa. Sejak itu ia semakin membenci uban.
***
Sukasir semakin rajin memotong
rambutnya. Sejak tujuh tahun tak pernah ditemukan foto-fotonya yang berambut.
Semua botak, kinclong, mengkilat seperti permukaan bola sepak. Kendati begitu,
ia tetap terlihat tampan dan berkhariswa di depan Bitari, istrinya.
Dua tahun sejak menikah, Sukasir dan
Bitari belum juga dianugerahi momongan. Seakan kurang lengkap bagi mereka jika
dalam rumah tangga tidak diimbangi dengan canda tawa dan kemesraan antara orang
tua dan anak. Harapan mereka di setiap malam yang indah hingga saat ini belum
terwujud.
Usut punya usut, semua terkuak saat
dokter memberikan hasil diagnosis. Sukasir mandul. Jelas sudah penghalang
impian mereka selama ini. Sungguh tak dinyana bahwa jabang bayi yang mereka
harapkan ternyata memang tak akan pernah terwujud. Walau berusaha ikhlas,
kekecewaan tetap sulit diredam. Mungkin Tuhan memang ingin agar kemesraan itu
hanya mereka nikmati berdua.
Dua puluh tahun lebih hubungan
mereka tak lapuk barang sejumput. Sejak tahu Sukasir mandul, mereka tetap sering
mengobrol berdua. Kadang sembari minum teh, melahap kudapan, atau menikmati
hujan di teras rumah sambil mencabuti uban yang mulai tumbuh di rambut keduanya.
Sukasir sangat mahir mencabuti uban istrinya.
Istri Sukasir jatuh sakit, tepat
saat hujan pertama di tahun ini. Badannya sangat panas. Ia terbaring lemas di
atas kasur ditemani suaminya yang terpaksa mengambil cuti karena khawatir
dengan kondisi Bitari. Sukasir membawanya ke dokter untuk diperiksa. Bitari
terkena demam berdarah. Trombositnya sangat rendah dan harus rawat inap.
Istrinya terbaring dengan selang
infus yang menancap di tangan kiri. Ia tak pernah jauh dari istrinya barang
sebentar. Bahkan ia rela tidak bekerja demi menjaga istrinya yang sudah
seminggu lebih belum siuman.
***
Pagi itu gerimis menyapa. Anginnya sepoi
dan tenang. Sukasir dengan malas menarik selimut dan membangunkan istrinya. Ia
terlihat sangat pulas. Sukasir mengguncang pelan pundaknya. Istrinya tetap tidak
merasa. Sukasir mengguncangnya lebih kuat. Tetap tidak ada tanda-tanda. Sukasir
khawatir bukan main. Ia segera memanggil dokter. Sukasir menanti kepastian bersama
kepalanya yang meracau bagai tawon mengerubungi sarangnya.
“Maaf. Kami sudah berusaha. Semoga
Bapak diberi ketabahan.”
Saat itu pertama kalinya Sukasir
berteriak sekencang-kencangnya dan memukul semua benda di sekelilingnya.
Beberapa petugas medis mencoba menahan sekuat tenaga. Otot Sukasir sangat kuat.
Betapapun demikian, pada akhirnya ia pingsan karena tak sanggup menanggung
pikirannya yang berkecamuk hebat karena orang yang paling dicintainya pergi
untuk selamanya.
Sebelum
Bitari dikebumikan, Sukasir melihat untuk yang terakhir kalinya. Tubuh Bitari
terbujur kaku. Bibirnya menyunggingkan senyum yang teduh. Matanya terpejam. Saat
hendak menciumi kekasihnya untuk yang terakhir kali, ia elus rambutnya yang
tergerai itu. Sukasir melihat satu helai uban yang hinggap. Saat itulah ia merasa
menyesal. Ia lagi-lagi merasa bersalah karena membiarkan uban itu tumbuh di
kepala istrinya.
“Uban
sialan!” Batinnya mengutuk. Isi kepalanya masih seperti tawon yang mengerubungi
sarangnya. Berisik tidak karuan.
***
Pagi
itu, seseorang duduk di kursi teras. Baunya tengik. Sudah dua puluh tahun
lamanya ia menunggu dengan pikiran yang berkeliaran. Tatapannya kosong. Pikiran
yang kalang kabut itu sebenarnya memikirkan suatu hal. Wajahnya sayu dan dekil.
Rambutnya dibiarkan gondrong. Tak hanya satu dua helai uban yang tumbuh, melainkan
sudah mendominasi di atas kepalanya. Kini Sukasir tak peduli lagi pada semuanya.
Ubannya dibiarkan tumbuh liar dengan harapan dapat cepat menyusul istrinya.
Ubannya sudah menguasai tiga perempat dari seluruh rambutnya. Namun Sukasir tak
jua bertemu dengan ajalnya. Sesuatu datang menyapa pikirannya lagi.
“Ternyata
uban itu tidak adil!” Kepalanya semakin berisik.
Komentar
Posting Komentar