SAJAK PARNISIAN DALAM BINGKAI RAHWANA
Penulis : Djoko Saryono
Penerbit : Penerbit Pelangi Sastra, Malang
Tebal : x + 148 halaman
Cet. Pertama : November 2015
ISBN : 9 786027 351608
Nuansa parnasian kembali
dihadirkan dalam buku Kemelut Cinta Rahwana (KCR) yang ditulis oleh Djoko
Saryono. Dengan racikan diksi dan taraf intelektual yang luas, himpunan puisi
ini hadir dengan berbagai eksplorasi kajian bagi pembaca, baik secara personal maupun
dalam forum diskusi. Setara dengan novel Rahvayana karya Sujiwo Tedjo, Djoko
Saryono juga memilih Rahwana sebagai sudut pandang dalam buku yang ditulisnya.
Semuanya disajikan dengan gaya puisi yang khas ala Djoko Saryono. Sebagaimana
kita tahu bahwa puisi parnasian ditulis oleh ilmuan yang kebetulan mampu
menulis puisi, bukan oleh penyair yang profesinya memang menulis puisi (Waluyo,
1991: 140-141). Djoko Saryono mungkin tergolong pada karakter yang demikian.
Jika dibandingkan dengan
pewayangan yang dikenal masyarakat umum, banyak perbedaan yang terdapat dalam
kitab puisi ini. Ideologi dan sudut pandang bisa jadi merupakan faktornya.
Mungkin sebagian orang akan mengarahkan persepsinya pada suatu depakemisasi
atau dekonstruksi pakem. Ini menarik, karena Djoko Saryono yang boleh dikatakan
seorang pujangga parnasian, berpikir lebih jauh daripada itu. Jika Dr. Riyanto
dalam Talkshow Bilik Sastra di UB TV mencoba mengelaborisi bahwa buku ini
mengajarkan manusia untuk belajar masalah spiritual dengan cara yang enak, maka
Djoko Saryono menjabarkan lebih jauh lagi. Penulis mengklarifikasi bahwa
bukunya berkisah tentang sebuah perebutan keagungan cinta. Rama dan Rahwana
sebenarnya memperebutkan keagungan cinta untuk bisa bermanunggal dengan
keagungan cinta itu sendiri.
Keagungan cinta adalah perihal
Rabbani, yakni bersifat Ketuhanan.
Sengketa itu menjadi titik ledak dalam kumpulan sajak ini. Fase klimaks
seolah-olah tak akan pernah selesai ketika keagungan cinta menjadi perebutan di
kalangan hamba. Semua tokoh dibuat kalah dan sirna, karena keagungan cinta
hanyalah milik Sang Pencipta. Sebagai makhluk pasti akan terbakar jika ingin
memiliki dan memeluk keagungan cinta itu.
Epistemologi Cinta dan Patah Hati
Buku ini kembali mengingatkan
saya pada prosa Kahlil Gibran dalam “Sayap-Sayap Patah”, dimana konteks
narasinya tak lepas dari petualangan dan kekandasan cinta yang dialami
penulisnya. Pergolakan cinta dalam buku itu mengajarkan pada kita salah
satunya, bahwa cinta mempersiapkan seseorang untuk terluka.
Gibran berkali-kali, hingga akhir
hayatnya menyatakan dirinya sebagai penganut Kristen Maronit. Namun karyanya
sering digolongkan berbau mistik atau sufi. Banyak kemiripan antara
karya-karyanya dengan kalimat-kalimat para sufi, tak terkecuali dalam “Sayap-Sayap
Patah”. Terkait dengan KCR, apa yang dialami oleh Rahwana bisa jadi petualangan
dan training untuk menyiapkan dirinya menghadapi patah hati juga. Walau
dijabarkan oleh pengarang, bahwa antara Rahwana dan Rama adalah suatu hubungan
yang komplementer, tapi tak bisa disangkal bahwa Rahwana telah terjebak dalam
gejolak cinta yang meruntuhkan reputasi dan jiwanya.
Pernyataan-pernyataan Rahwana
dalam KCR bukanlah luapan hati yang sarat dengan durja semata. Gejolak
romantisme ini sebenarnya berkorelasi kuat dengan ajaran-ajaran cinta secara
epistemologi. Djoko mencoba mengupas perihal keagungan cinta pada akhir
puisinya yang betajuk “Situasi Batas”. Dikatakan bahwasanya Rahwana, Sinta dan
Rama kelak akan sirna dengan cara yang dipilihnya, tersebab mereka hanyalah
eksistensi fana yang tak akan bisa merampas keagungan cinta. Sedigdaya apapun
seseorang, tetap akan sampai pada situasi batas ini. Tak dapat diterobos dan
dielak. Karena takhta abadi keagungan cinta berada kuat pada genggaman Sang
Pencipta. Maka di singgasana, Ia menjadi objek kembalinya manusia.
Dekonstruksi dan Ideologi Parnasianisme
Sejatinya, perilaku dekonstruksi
yang besifat parnasian juga banyak ditemukan pada puisi-puisi sastrawan
Indonesia, salah satunya Goenawan Mohammad. Pemroyeksian Yesus yang pernah
menjadi sangat ragu-ragu ketika berdoa di bukit Zaitun (Taman Getsemani) pada
malam menjelang ditangkap dan dibunuh, Puisi Yesus (Doa) dari sikap
keragu-raguan di Getsemani ini menjadi sangat terkenal, dan Arjuna juga
ragu-ragu ketika harus menghadapi saudara sendiri (Karna) dalam perang
Bharatayudha. Hingga Kresna sebagai titisan Wisnu terpaksa melantunkan
pupuh-pupuh Kakawin Bhagawadgita yang panjang dan sarat akan petuah dan
falsafah. Ideologi parnasian juga dapat diterawang dalam puisi-puisi Rendra,
Chairil, Emha, dan Triyano Triwikromo yang mengusung pola parnasian dalam puisi-puisinya
yang mirip esai.
Parnasian merupakan gambaran dari
sebuah filosofi dan eksplorasi wawasan. Jika pembaca tidak terbekali pengalaman
yang cukup tentang latar belakang dan filosofi puisi, maka akan kesulitan dalam
memaknainya. Pasalnya, ciri parnasian tak pernah lepas dari interpretasi ilmiah
yang menjadi prinsip parnasianisme. Jika dalam KCR ini didapati diksi-diksi
yang mengandung tendensi pada romantisme, paling tidak pembaca harus memahami
cinta dalam tataran epistemologisnya (tanpa mengesampingkan sisi aksiologis).
Mungkin memang bisa puisi dinikmati secara biasa-biasa saja. Karena selain gaya
bahasa Djoko Saryono yang memukau, buku ini menggunakan cara pikir non linear
(paradigma ketimuran). Sifatnya cenderung sirkuler dan tekstural. Seperti halnya
album dokumentasi, bisa dimulai dari mana saja tanpa harus membuka halaman
pertama. Ini juga berbanding lurus dengan gaya-gaya hadits dan Quran yang bisa
ditafsirkan secara non linear.
Hal menarik lainnya muncul ketika
KCR memunculkan tokoh Dasawilukrama yang dinobatkan penulis sebagai anak dari
Rahwana dan Shinta. Dalam standar cerita yang dirujuk masyarakat pada umumnya,
tidak ada tokoh Dasawilukrama. Dasawilukrama hanya diterangakan sebagai putra
Prabu Dasamuka yang diasuh oleh Sri Rama dan Dewi Sinta
selepas meninggalnya
ayahandanya, dan hendak diangkat menjadi raja oleh Sri Rama (Harghana,
2001). Djoko Saryono berhipotesis bahwa
Dasawilukrama adalah buah hasil dari Rahwana dan Shinta selama 11 tahun bersama
di Argosuko. Argumen itu muncul karena Djoko berkaca pada siklus realitas dalam
pergaulan hidup.
Sampul belakang buku ini
sejatinya telah menyampaikan maksud dan hasrat dari penulis. Dalam pengakuan
Rahwana, raksasa dua puluh tangan dan sepuluh kepala yang melayangkan takdir ke
tengah samudera keagungan cinta. Sebuah perjalanan dengan keberserahan yang
paripurna adalah pesan sarat makna yang dieksploitasi secara implisit dalam
buku ini. Bermanunggal dengan Sang Pencipta dan melepaskan segala murka angkara
dan egoisme dalam jiwa manusia. Berpasrah dengan lapang dada dan memegang
prinsip Ketuhanan dalam ajaran teologis secara holistik. Karena seperti apapun
rupanya, eksistensi makhluk jagat raya bukanlah kepunyaan kita, melainkan Tuhan
semata.
NB: disalin dari website Pelangi Sastra Malang http://www.pelangisastramalang.org/2016/12/20/resensi-buku-puisi-kemelut-cinta-rahwana-sajak-parnisian-dalam-bingkai-rahwana-oleh-ajun-nimbara/
Komentar
Posting Komentar