DUA TAKDIR




By: Jun Haiyy

            Gadis itu tampak sudah siap menikmati detik-detik profesi kuliahnya. Dengan seragam putih-putihnya diwarnai dengan hijab raksasa yang memendam dalam-dalam auratnya. Hatinya penuh dengan rona bahagia, setelah wisuda kelulusan S1-nya di Universitas Airlangga fakultas keperawatan dengan IPK tertinggi 3,98. Lira, itulah sapaan orang padanya. Gadis penuh gairah yang telah membuat orang tuanya bahagia dengan kelulusannya, kini juga akan membuat pasien bahagia dengan pelayanannya. Ia mengayuh sepeda ontelnya dengan wajah riang cemerlang menuju rumah sakit.
            Lira, sosok yang tak pernah kapok menolong orang itu dengan gencar memburu berbagai pasien yang terkapar di beberapa kamar. Ada yang ia suguhkan jarum suntik, pil bundar, obat cairan, bahkan kadang ia menyodorkan makanan. Tak terasa, waktu bergulir begitu cepat, jam 17.00, saatnya jam pulang kerja. Lira berkemas dan langsung menuju tempat parkir menjemput sepeda ontelnya, dan meluncur ke rumah dengan hati riang seperti biasa.

***
            Malam harinya ia disibukkan dengan berbagai arsip yang terselip di mapnya, entah apa yang dia lakukan dengan berkas-berkas itu. Ketika sedang asyik bermain dengan arsipnya sambil ditemani lagu sunyi, tiba-tiba handphone yang ada di sebelahnya berdering memecah sepi. Di layarnya tertera tulisan My Mother calling.
            “Halo, assalamu’alaikum..
            Wa’alaikumussalam, ini benar Lira anaknya yang punya hape ini?” Lira terperanjat kaget mendengar suara laki-laki bergumam di gagang handphonenya. Yang telpon ibu, kok yang ngomong laki-laki, tanyanya penuh heran.
            “Iya benar, maaf ini siapa?” Tanya Lira gugup
            “Ndak penting saya siapa, sekarang mbak cepetan ke jalan Kartini sebelah warung makan Cak Maryo, cepetan mbak!” Tukas laki-laki misterius itu
            Lira gemetar, bingung, sebenarnya apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang ia menuju rumah tetangganya dan minta izin untuk meminjam sepeda motornya. Si tetangga mendapati Lira dengan muka kalut dan bimbang. Dengan penuh cemas, Lirapun tancap gas menuju alamat yang disebut laki-laki tadi.
            Nun jauh di sana tampak di mata Lira orang-orang yang sedang mengerumuni sesuatu, dan di situlah alamat yang diberi tahu laki-laki tadi. Pikiran Lira benar-benar berkecamuk sekarang, sepertinya dia sudah bisa memprediksi apa yang terjadi sana.
            Masyaallah. Tak luput, prediksi Lira benar. Dia melihat ibunya terkapar tak berdaya di pinggir jalan. Sekujur mukanya belepotan darah segar, nafasnya terkatung-katung, dan tubuhnya tak henti mengucurkan darah segar.
            “Ibu….Bangun….Bangun bu….” Teriak Lira menyertakan isak tangisnya yang menderu kencang.
Ia mengguncang-guncang pundak ibunya yang tak mampu berkata sepatah katapun. Serentak Lira dan orang-orang di sekitarnya membopong ibunya ke Rumah Sakit. Ibu Lira langsung dialihkan ke UGD untuk mendapati penanganan lebih lanjut karena luka yang didapatinya sangat parah.

***
            Hari itu berbalik 360 derajat. Lira yang selalu bergairah kini menjadi murung. Wajah riangnya tertutup desiran air dari matanya yang sembap. Jemarinya bergetar hebat, mulutnya tak henti-henti berkomat kamit di depan kamar tempat ibunya dirawat. Informasi terakhir yang ia dapat dari Dokter Kaze ––seorang kristiani yang merawat ibu Lira––, katanya ibunya mengalami pendarahan yang cukup parah, gagar otak yang dahsyat juga rusaknya beberapa organ vital.
            Penantian lama itupun terhenti setelah pintu ruang UGD tersibak. Dokter Kaze kembali menampakkan sosoknya di hadapan Lira.
“Gimana hasilnya dok?” Tanya Lira penuh harap.
Dokter Kaze diam sejenak, memikirkan hal apa yang hendak dibicarakan pada Lira. Sesaat kemudian, dia pun mulai berdalih, Eeemm… Kami sudah berusaha sekuat tenaga Lir, tapi sampai sekarang tidak ada perubahan, justru yang dialami ibumu semakin parah. Saya juga iba melihat kondisi beliau yang demikian. Sepertinya sudah tidak ada yang bisa diusahakan, kecuali jika kamu setuju pada kami untuk melakukan… Euthanasia1 pada ibumu.”
Lira terperanjat kaget mendengar kalimat dokter Kaze, “Apa? Jadi dokter mau menghabisi nyawa ibu saya dengan cara itu? Pikir dok, pikir, siapa yang sedang dokter tangani. Itu ibu saya. Dokter pikir saya akan tega pada ibu saya sendiri?” Tegas Lira mulai naik pitam.
“Seharusnya kamu yang berpikir, kamu tega melihat kondisi ibumu yang terus-terusan begini, kamu hanya akan menyiksanya hidup-hidup, dan pada akhirnya dia akan meninggal juga. Apa tidak sebaiknya kita bertindak cepat, toh hasilnya akan sama saja. Tolong pikirkan itu baik-baik, kita tidak punya waktu lama.” Sergah dokter Kaze dengan tegas, lantas berpaling meninggalkan Lira seorang diri.

***
Malam kelam, diiringi semilir angin malam. Lira menekur di sudut rumah sakit, pikirannya melayang di tengah arus kepedihan yang menimpa ibunya . Kini dia dihadapkan dengan pilihan yang amat berat. Aura wajahnya tampak suram, kegalauan benar-benar telah menggerogoti jiwa dan raganya. Sesaat kemudian, mukanya tertengadah, tangannya terkepal keras. Segera setelah hempasan nafasnya, akhirnya muncul sebuah keputusan bulat. Dia mengambil handphonenya dan langsung menelpon dokter Kaze.
            “Halo, dok…”
            Halo, gimana, sudah ada keputusan?”
            “Ya, lakukan saja seperti rencanamu!” Pinta Lira pada dokter Kaze dan langsung menutup telponnya. Lira sendiri masih belum yakin akan keputusannya, namun dia terlalu iba melihat ibunya dengan kondisi yang terkulai, apalagi pernyataan dokter Kaze yang memvonis Ibu Lira sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
            Sore itu rencana digencarkan. Senapan suntik berisi cairan sudah tertampung di saku dokter Kaze yang sedang berjalan menuju kamar Ibu Lira. Ibu Lira tetap tak sadarkan diri pada saat itu, nafasnya tetap terkatung-katung. Beberapa detik kemudian terjadi pendarahan kembali padanya. Dengan penuh terpaksa, dokter Kaze menghunus jarum suntik itu, menusukkannya ke dalam tubuh Ibu Lira dan memuntahkan cairan pentobarbital dosis tinggi yang terselubung di dalamnya. Lira tak kuasa melihat ibunya yang tak hentinya tersengal-sengal. Hati dan pikirannya hancur, sampai-sampai dia menklaim dirinya sebagai pembunuh, karena Lira menyetujui rencana yang diusulkan oleh dokter Kaze.
            Tak lama kemudian, berita kematian ibunya tersebar luas, seluruh karyawan rumah sakit dan kerabat-kerabat Lira mengetahuinya. Tak hanya itu, bahkan mereka tahu bahwa Lira menyetujui eustanasia yang dilampiaskan pada ibunya itu.
            Hujatan dari orang-orangpun mulai merangsek telinganya. Ia dicap sebagai pembunuh dan anak durhaka. Lira mencoba menanggapi semuanya dengan kepala dingin. Namun, karena merasa tertekan dia mencoba keluar rumah mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Tak disadar, derap kakinya mengantar ia ke tempat ibunya disemayamkan.
            “Lho, aku kok bisa di sini?” Tanyanya pada dirinya sendiri.
            Angin berhembus, terlihat tidak akrab. Di tengah suasana itu, tiba-tiba sebuah suara menggema entah dari mana asalnya. Bulu kuduk Rois merinding mendengarnya.
            “Lira… kenapa kamu tega, ibu kesakitan di sini” Suara tersebut menggaung tak jelas dari mana asalnya. Lira ketakutan dan berlari tak tentu arah, dari tadi hanya kuburan dan kuburan yang dilewatinya.
            Langkah Lira terhenti ketika dia melihat sosok wanita misterius berjubah putih mengepal bilah bambu. Wanita itu kemudian menoleh ke arah Lira. Begitu kaget dan takutnya Lira ketika mendapati wajah wanita itu seperti ibunya. Saat itu juga Lira mati langkah dan tak sanggup berpindah tempat, sendi-sendinya kaku seketika. Hanya teriakan tolong yang keluar dari mulutnya.
            “Anak durhaka, akan kubalas perbuatanmu, rasakan betapa sakitnya bilah bambu ini, seperti halnya kau membunuhku dengan cairan itu” Ujar si wanita dengan marah, kemudian dia berkelebat terbang ke arah Lira dan mencondongkan bilah bambunya ke depan, ke arah Lira yang sedang berdiri.
            Dan kemudian, jleeebbb…..
            “Mbak… mbak… bangun mbak, sudah subuh iki, belum sholat yo, ayo sholat dulu” Seorang OB mengguncang-guncang badan Lira yang tertidur lunglai di kursi tunggu.
            Lira terperanjat kaget dari kursi panjang tempat dia beristirahat, “Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi toh, syukurlah”. Lira langsung beranjak menuju musholla untuk menunaikan sholat subuh.

***
            Usai sholat, Lira bergegas menuju ruangan dokter Kaze. Sesampainya di sana, dia mendapati sang dokter sedang menulis sesuatu.
            “Permisi dok, maaf ganggu”
            “Tidak apa-apa, ada apa?” Tanya dokter Kaze
            “Saya hanya ingin bilang, gagalkan rencana eustanasia anda, rawat ibu saya seperti biasa, kalo perlu operasi lagi tidak apa-apa, saya sanggup menanggung biayanya” Tegas Lira dengan muka tajam.
            “Tapi Lir…”
            Belum selesai bicara pula, Lira kembali memotongnya “Lakukan saja, saya yang berhak atas ibu saya”
            Akhirnya perawatan dilanjutkan, operasi kembali ditindak lanjut, sampai-sampai dokter Kaze dan perawat yang lain kewalahan dan bosan karena hasilnya tetap saja nihil.
            Esok harinya, kembali operasi akan dilanjutkan. Namun, rencana itu terhenti saat dokter memasuki ruang operasi ibu Lira, dan mendapati ibu Lira dalam kondisi berbeda. Elektrokardiogram2 menunjukkan detak jantung yang semakin meningkat menuju normal. Seketika itu dokter mengambil segala peralatan medis untuk membantu ibu Lira. Segala ikhtiar kembali dikerahkan, dan kali ini muncul jendela harapan.
            Berjam-jam menunggu, akhirnya dokter Kaze keluar dan menemui Lira.
            “Ini suatu mukjizat, tidak dapat dipercaya, semua titik darurat di tubuh ibumu tiba-tiba sirna, benar-benar mukjizat. Diperkirakan dua hari lagi kamu bisa membawa ibumu pulang”
            Betapa bahagianya Lira mendengar berita itu. Lira bersimpuh sujud di sudut musholla.

***
            Hari-hari berlalu, terdengar suara canda tawa di dalam sebuah rumah tak terlalu besar dengan dekor sederhana. Kebahagiaan membuncah di sudut langit-langit eternitnya. Ya, kehidupan Lira kembali seperti semula, bahkan terasa lebih indah dari sebelumnya. Lira kembali menemukan jati dirinya dan keharmonisan rumah tangganya. Seandainya saja kala itu Lira menyetujui saran dokter Kaze, mungkn hasilnya akan berbeda. Namun demikianlah, takdir berbicara di saat yang tepat, di saat terbaik yang sudah direncanakan Tuhan. Kabar gembira lain, dokter Kaze memeluk islam setelah fenomena menakjubkan yang ia alami saat merawat ibu Lira.


“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

        1 Tindakan menghabiskan nyawa pasien dengan suntikan cairan dengan alasan karena pasien diperkirakan tidak dapat selamat lagi.
         2  Alat yang digunakan untuk mengukur detak jantung seseorang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN "BIBIR" KARYA KRISHNA MIHARDJA

SENJA BERKABUT MERAH DAN LELAKI YANG PERNAH KUCINTAI (Malang Post, 9 April 2017)

WIRO SABLENG: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212