DI TUBUH DARANI, DALAM PERUT WADUK (Radar Malang, 15 Oktober 2017)
Lelaki itu membuka mata. Mulutnya mendesah, menguarkan bau penyesalan yang semakin memborok di ulu hatinya. Di desa ini sudah sekian lama ia tak menghirup kehidupan. Semenjak aku depresi dan menenggak air yang kutampung sendiri, ia hanya mengumpat terus di dalam hati. Lebih baik mati daripada hidup serba menyakiti seperti ini. Di balik pegunungan, matahari merangkak memendarkan embun-embun di sekitar lahan. Tubuhku memancarkan kristal di bawah silau dan sengatan fajar. Bara membungkus bekalnya dengan baju kumal yang tak terpakai. Ia menarik geteknya yang tertambat, lalu mendayungnya menyusuri permukaanku. “Darani, kenapa kau menjadi seperti ini. Lantaran hujan enggan luruh dan terik yang menyembilu, kau lantas biarkan hidupku tak menentu.” Keluhnya padaku. Di permukaanku, dulu tertambat barang sepuluh sampai lima belas getek. Orang-orang biasanya menangkap uceng, belut, dan siongan dengan jala mereka. Tapi kini hanya tersisa satu getek milik Bara. Dia mencintaiku bukan